Wacana sampah DKI menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Tumpukan sampah di DKI yang tidak terurus dengan baik, sudah diperkirakan tidak dapat menampung sampah tiga tahun ke depan. Diperkirakan satu ton lebih sampah masuk per harinya.
Karena kasus tak terpecahkan ini, terjadilah pertemuan antara DPRD DKI dengan wali kota Surabaya. Risma sebagai wali kota dinilai sukses mengatasi sampah dengan mendaur ulang dan menjadikan pupuk sumber tenaga listrik. Hasilnya, kota Surabaya benar-benar tampil sebagai kota yang bersih sampai saat ini.
Ketika Risma diminta untuk membantu masalah sampah DKI, maka setidaknya akan ada dua sisi persepsi. Persepsi pertama, publik akan mengharap Risma segera membantu DKI agar sampah cepat selesai. Kedua, publik melihat Anis Baswedan gagal mengatasi sampah DKI. Dua sisi ini jika dicermati dengan baik, tidak hanya soal kesuksesan Risma dan kegagalan Anis Baswedan, tapi juga terdapat sikap dan kepentingan politis.
Pertama, kita perlu menanggapi soal sampah DKI dan simpati Risma secara positif. Fakta itu harus kita terima dengan baik dan harus ada perubahan. Simpatinya terhadap sampah DKI adalah hal positif yang perlu kita contoh. Dia menunjukkan dirinya sebagai wakil rakyat dan melayani rakyat dengan baik bahkan untuk luar wilayah penugasannya (Surabaya-Jakarta).
Namun wacana niat Risma tersebut, tidak perlu membuat persepsi baru bahwa Anis Baswedan telah gagal menyelesaikan sampah DKI. Gagal dan sukses tidak bisa diukur hanya dari satu sisi saja. Kadang kala, ketika kegagalan hanya diukur dari satu sudut pandang, biasanya ukuran yang dipakai adalah politisasi. Kadang ada niat menjatuhkan martabat, citra, dan membunuh karakter seseorang. Tapi tidak dapat dipungkiri pula kritik yang sifatnya membangun. Oleh karena itu, penting mencermati ulang dengan baik supaya wacana itu tidak menimbulkan cacian dan makian tanpa tahu sebabnya.
Baca Juga:MENGKAJI WACANA PEMBUBARAN FPI
Sederhananya, pertemuan DPRD DKI dan Wali Kota Surabaya harus kita anggap sebagai kerja sama pembangunan. Seperti studi banding kampus ke berbagai kampus lainnya, membahas masalah, ide, dan solusi yang efektif. Artinya, untuk menjauhi persepsi kotor tak membangun, polarisasi wacana harus dihindari.
Bestari Barus, selaku DPRD DKI yang turut hadir di pertemuan dengan Risma, hanya menyebut bahwa mungkin cocok jika Risma bisa berbagi pendapat soal sampah supaya jadi acuan untuk pengolahan sampah di DKI.
Jika kita cermati ulang, pernyataan itu adalah usaha tukar pikiran, mendengarkan solusi apa yang dipakai Wali Kota Surabaya dalam mengolah sampah. Justru itu sangat baik dan DKI tidak segan melakukan studi banding dengan Surabaya. Hal itu harusnya kita apresiasi. Sayangnya, studi banding itu dipersepsi sebagai kegagalan Anis Baswedan.
Apakah betul masalah tumpukan sampah DKI menggagalkan seluruh program Anis Baswedan? Tentu anggapan itu tidak benar. Persoalan sampah sebetulnya adalah persoalan bersama. Karena sampah tersebut dihasilkan oleh kita semua. Seharusnya, ketika kita tahu bahwa ada satu ton sampah setiap harinya di DKI, kita harus mulai sadar dengan hidup konsumtif kita. Hidup seperti itulah awal dari masalah tumpukan sampah.
Walaupun pemerintah DKI adalah wakil rakyat di DKI, yakni bekerja untuk masyarakat, tapi bukan berarti kita membuat masalah dan pemerintah yang mengatasinya. Lebih tepatnya, kita sebagai masyarakat harus mendukung pemerintah DKI dengan cara mengurangi konsumsi hidup, tidak membuang sampah sembarangan, atau menimbun maupun membakar sampah sekitar.
Jika ini semua dapat kita lakukan, maka seharusnya tumpukan sampah menjadi kritik untuk kita semua. Mendorong kita berubah dan mengurangi konsumsi barang-barang plastik.
Masalah selanjutnya, kita harus tahu betul antara wacana pembunuhan karakter dengan wacana yang sifatnya membangun. Dunia pemerintahan adalah dunia politik. Di dalam terdapat para politisi yang ingin mengabdi dan yang ingin memenuhi intensitas pribadi.
Masalah selanjutnya, kita harus tahu betul antara wacana pembunuhan karakter dengan wacana yang sifatnya membangun. Dunia pemerintahan adalah dunia politik. Di dalam terdapat para politisi yang ingin mengabdi dan yang ingin memenuhi intensitas pribadi.
Dua ciri politisi itu akan terus berlawanan. Di satu sisi mereka ingin bekerja dengan ikhlas pada negara, sedangkan di sisi lain, mereka yang penuh intensitas pribadi berusaha menggagalkan usaha para pengabdi.
Wacana kegagalan Anis Baswedan di media sosial dalam mengolah sampah bisa saja akibat faktor tersebut. Kita tidak tahu persis. Mungkin ada program bagus pengolahan sampah, tapi terhalangi orang-orang kuat. Mudahnya, kita harus sadar bahwa para politisi tidak mudah ditebak apakah mereka orang baik atau tidak. Salah satu jalan atas masalah ini adalah dengan meningkatkan kesadaran di antara kita semua.