Pancasila sebagai dasar negara tidak bisa digugat maupun diganti dengan dasar-dasar ideologi lain. Dalam konteks itu, akhir-akhir ini organisasi manapun yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila akan dibubarkan. Keputusan pemerintah itu pernah jatuh ke ormas HTI yang menginginkan negara khilafiah.
Sekalipun demokrasi memberikan kebebasan berekspresi, namun siapa pun yang menentang Pancasila, harus ditolak kehadirannya. Sebelumnya, FPI turut ikut ambil peran di negara ini, bahkan politiknya sangat kuat. Rata-rata FPI dikatakan ormas keras. Salah satu jejak dakwah dan aksinya terpotret pada aksi 212. Namun hari ini sudah ada wacana pembubaran ormas tersebut.
Tujuan membubarkan ormas-ormas anti Pancasila sama halnya dengan membakar sarang atau lumbung. Ketika lumbungnya sudah hancur, maka kesimpulannya ideologi itu juga ikut tiada.
Tujuan pemerintah dalam merawat NKRI patut diacungi jempol. Namun hadirnya FPI secara historis dan ideologis juga perlu dipahami. Ormas itu sama dengan HTI dari segi respons. Keduanya hadir atau terbentuk pasti berawal dari gejala-gejala hidup. Dikenal ormas keras dan suka menentang kebijakan, konteks itu memberi sinyal kepada kita, mereka mendapat tanda-tanda kebijakan yang mungkin jauh dari keadilan.
Menurut Aristoteles, bentuk bukan materi tapi nature, yang artinya bentuk bisa lahir dari sesuatu yang berbeda dan kadang dari hal yang sama. Manusia lahir dari manusia. Namun, lemari tidak bisa lahir dari lemari. Jika materi, maka lemari harus lahir dari lemari.
Baca Juga: Dua Sisi Wacana Sampah DKI
Jika teori itu ditarik ke permasalahan di atas, maka FPI, sebagai bentuk, lahir dari keresahan, gejala, dan ketidakadilan yang ada di masyarakat. FPI tidak lahir dari FPI. Sehingga pembubaran ormas FPI sangat kurang tepat jika hanya ingin menjaga keutuhan NKRI. Sebab, FPI adalah wadah intensi masyarakat yang menuntut kebijakan tepat maupun keadilan.
Contoh-contoh kegelisahan tersebut ketika Ahok tidak langsung diadili atas tuduhan penistaan agama Islam. Massa berkumpul di Jakarta yang dipimpin Muhammad Rizieq Shihab dan kemudian dikenal dengan aksi 212. Kemudian disusul aksi 24 Mei yang menunut keadilan atas dugaan kecurangan pemilu 2019.
Lalu adakah cara lain? Saya pikir tidak ada cara lain, kecuali di dunia ini tidak ada yang menganggap keadilan penting, sehingga FPI tak perlu menuntut maupun mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah. Namun masyarakat selalu melek keadilan. Keadilan adalah hak semua orang. Sehingga walaupun FPI dibubarkan, melek keadilan masyarakat tidak bisa dibubarkan.
Dengan demikian, persoalan-persoalan anti Pancasila tidak akan pernah selesai. Karena persoalan dasar dari kelompok-kelompok tersebut berawal dari rasa ironis atas sebuah keadaan. Sehingga dengan sendirinya, mereka mengkritik keadaan itu. Lalu dicap anti Pancasila.
Mengikuti sejarah berdirinya Hisbul Tahriir (HT), Taqiyuddin al-Nabhani mendasarkan ideologi HT untuk membangkitkan kesadaran masyarakat atas keadilan yang direnggut sekularisme Barat. Begitu juga dengan HT di Indonesia. Kontradiksi ideologinya dengan Pancasila dianggap sebuah bahaya untuk NKRI. Padahal keadilan adalah dasar masalahnya.
Jalan Tengah
Pembahasan ini sepertinya tidak punya ujung. Karena melek kesadaran masyarakat sangat tinggi. Ditambah lagi dengan teknologi yang semakin canggih di era 4.0 yang potensinya memudahkan, mempersatukan, dan bahkan memecah belah.
Melihat konteks tersebut, saya pikir pemerintah harus mengambil jalan tengah, yakni sesuai dengan asas-asas demokrasi. Meningkatkan keadilan di semua kalangan, memperkuat atau memperluas pendidikan Pancasila dan NKRI, dan mulai melihat respons-respons kecil masyarakat.
Mungkin keresahan lainnya, banyak orang yang tidak paham Pancasila dan NKRI. Banyak dari mereka masuk jaringan radikalisme dan terorisme. Persoalannya mereka tidak mengerti Pancasila dan NKRI. Maka solusinya, pendidikan Pancasila dan NKRI harus diajarkan kepada mereka.
Jalan itu akan memberi harapan baik. Karena yang diperbaiki adalah kesadaran dan pola pikir. Tentu ini semua butuh waktu yang cukup lama. Tapi yakinlah, jalan itu lebih baik daripada melakukan pembubaran namun tak mengubah kesadaran mereka.
Tidak masalah mengambil cara pembubaran terhadap FPI, namun keadilan harus tetap ditegakkan. Jika keadilan masih lemah, tak bisa dielakkan jika kumpulan-kumpulan massa minta perbaikan.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, “setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati”. Sedangkan menurut Gornawan Muhammad di dalam Catatan Pinggir 7, “keadilan bukanlah sekadar masalah kesalahan dan hukuman. Keadilan adalah lapisan humus dari ladang sebuah kebersamaan” Artinya, keadilan menjadi ruh kedamaian. Suasana damai hanya datang jika tercipta keseimbangan dari segala sisi, yaitu dengan mewujudkan keadilan tanpa pandang bulu.
Baca Juga: 9 CARA MEMBUAT WAJAH GLOWING, TIDAK BRUNTUSAN, DAN KUSAM
0 Comentarios