Mengasuh Bayi



Ketika liburan kuliah kemarin, saya bermain dengan seorang bayi lelaki tetangga kos yang baru lahir dua setengah bulan yang lalu. Bayi itu sangat imut, ganteng dan lucu. Darinya saya belajar cara menyentuh pipi dengan lembut; sentuhan yang bisa mendatangkan senyuman, bukan tangisan. Memijat, mencubit, kadang menarik hidungnya.

Kenapa saya belajar menyentuh pipi tanpa mendatangkan tangisan, kebencian dan amarah? Menjawab pertanyaan ini, karena teringat dengan persoalan mengerikan yang sedang menimpa kota Surabaya. Lima butir bom diledakkan di Gereja dan Polrestabes oleh teroris. Menyebabkan belasan orang mati, dan puluhan terluka, orang tua dan anak-anak.

Hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Bryan S. Turner, sosiolog agama, bahwa orang beragama akan mencari pekerjaan yang memiliki fungsi religius. Dampak dari cara memilih pekerjaan seperti ini sangat jelas, teroris adalah pekerjaan yang tepat. Karena dalam makna umumnya pekerjaan teroris untuk menumpas orang-orang kafir dan mati dengan syahid.

Beberapa hari selama liburan saya menghabiskan waktu bersama bayi itu. Terkadang seharian bersamanya. Ibunya sedang bekerja, dan ayahnya menjaganya setiap hari. Karena itu, daripada saya keliaran dan terkena bom, saya berdiam diri bersama bayi itu. Namanya Royhan, dan saya juga diperkenalkan oleh ayahnya dengan panggilan om Riri. Saya sedikit semringah.

Bagi saya, Bayi kecil adalah makhluk otomatis. Otomatis sebab ia berkehendak kepada orang lain tanpa sengaja ia berkehendak. Artinya ia melakukan sesuatu tanpa ia sadari dan maui. Misal, tengah malam tiba-tiba menangis, kencing dan sebagainya, membuat orang tuanya terpaksa bangun di saat sedang kantuk parah. Menggendong dan menghiburnya. Segala upaya dilakukan agar si bayi tidur kembali.

Kebiasaan seperti ini menguji kesabaran orang tua. Di satu sisi orang tua cinta pada anaknya dan lain sisi anaknya berbuat ulah. Jadi apa yang akan diperbuat orang tua jika dalam posisi seperti ini?
Hari-hari bersama si bayi, saya benar-benar mengalami apa yang disebut cinta dan kesabaran. Cinta karena seorang bayi adalah harapan, tapi di satu sisi, saat ia menangis sulit didiamkan, cinta berubah jadi telaga amarah. Rasanya seperti kehilangan kesabaran.

Saat menyentuh pipi si bayi, saat sedang menangis, saya merasa diri saya adalah teroris yang sedang marah dan benci pada semua orang yang memelihara TV, yang pergi ke MALL, dan yang pergi berlibur untuk kemaksiatan. Serasa saya akan mengebom kota Surabaya, karena kota ini dipenuhi orang-orang berdosa. Perbuatan saya perbuatan mulia, dicintai dan diridai Allah.

Di saat melamun menjadi diri teroris, bayi itu tersenyum dan tertawa pada saya. Cinta lahir kembali menjadi telaga kebahagiaan. Saya mencubit kedua pipinya lagi dan ia tertawa. Dari itu saya menyadari bahwa  senang dan bahagia hanya butuh kesabaran dan keteguhan.

0 Comentarios

Follow Me On Instagram