Doa dan Arwah, Perjalanan Kisah Nyata Ayu


Bertahun-tahun kita menjadi orang yang mudah percaya. senantiasa seperti kawanan domba yang terasing. Penurut dan menerima segala hal tanpa memikirkannya dan kita memang sulit(baca; jarang) dibuat untuk mengerti oleh orang-orang disekitar kita.  Domba yang tersesat dari kawanannya. Tapi pernahkah kita mencoba menjadi dari bagian kawanan domba lainnya agar kita dapat menemukan jalan untuk tidak tersesat?
Sepertinya tidak akan pernah (baca; jarang) anak kecil yang tidak tersesat kecuali ia memang diturunkan seperti seorang rasul di dunia ini. Diturunkan karena ada takdir tertentu atau pilihan untuk mengurus dunia. Seperti yang ditulis Ayu Utami dalam buku yang sedang saya ulas sekarang, ada tiga fase yang akan didapati oleh setiap orang; yaitu mudah percaya, skeptis dan krtis, menurut Ayu Utami.
Dalam menguraikan ketiga fase tersebut, tiga fase yang menurut saya adalah fakta umum, Ayu langsung fokus pada kehidupannya sendiri sebagai contohnya. Pada fase pertama yang pernah dialami Ayu sendiri semasa kecil ialah mudah percaya. Semenjak masa itulah ia selalu disuntik dengan cerita-cerita hantu oleh Bibi Gemuk dan Bibi Kurus; nama-nama tokoh dalam bukunya. Menurutnya cerita hantu telah digunakan untuk memenjarakan nalar seorang anak. Tentu mengapa anak-anak cenderung penakut bahkan ada yang sampai dibawa memasuki usia dewasanya.
Ada sebuah penegasan umum yang disampaikan dalam buku ini. Ketegasan yang diungkit dari sesuatu yang sangat lumrah terjadi namun tidak disadari. Bahwa kebanyakan orang tua memilih solusi dalam kesulitan mendidik anaknya cenderung sepintas dan tidak berpikir bagunan mental yang akan terjadi pada anaknya. Dikatakan sepintas karena solusi yang digunakan orang tua, seperti menakut-nakuti anaknya dengan cerita hantu, supaya mental anak takluk dihadapan mereka. Anak tidak perlu berpikir atau diajari berpikir mengatasi masalah. Anak harus bangkit dengan orang tuanya. Anak harus nurut dengan saran orang tuanya. Di sinilah terkadang didikan seperti itu melekat tidak hanya menjadi sekat tapi menjadi kebiasaan sampai usia dewasanya. Sangat beruntung jika didikan itu positif, namun berbahaya jika didikan itu negatif tapi tidak disadari oleh para orang tua.     
Sebuah buku yang diracik dengan model komprasi antara pengalaman diri sendiri dan pengalaman orang lain membuat buku ini sangat berkualitas dan kritik pada pada pengalamannya membuat buku ini sangat mendalam. Ada motif–motif unik yang disuguhkan dari kisah perjalanan pengarang ini. Seperti masih anak-kanak, tutur Ayu, tak mungkin rasanya kami boleh meragukan Tuhan secara terbuka. Tak terbayang orang tua atau guru mengizinkan kami bertanya: Apa benar Tuhan ada? Apa buktinya? Anak yang bertanya begitu akan langsung diancam masuk neraka.
Menurut Ibn ‘Arabi hakikat manusia adalah pengatahuannya. Hakikat terdasar itu membuat manusia tumbuh sebagai makhluk yang tahu banyak hal. Keinginan tahuaan dimulai ketika akal manusia mulai berfungsi. Artinya manusia bertanya untuk tahu tidak dibatasi dengan usia atau apapun, dan hal ini juga terjadi pada anak-anak kecil. Karena mengetahui adalah hakikat manusia itu sendiri. Praktik-praktik seperti diceritakan Ayu dalam buku ini, berpesan samar-samar, bahwa manusia sudah dibodohi (dilarang tahu) dari sejak kecil.
Praktik-pratik yang terus menggejala itu mengakibatkan pertumbuhan manusia sangat lambat. Ayu bercerita bahwa baru di usia 20 tahun ia baru bisa tak dikuasai dengan aturan model dogma Gereja. Ia merasakan hati nurani dan akal budi  yang bisa menimbang baik buruk secara konteks tual di usia 20 tahun dan tentu hal ini sangat lambat seseuai pertumbuhan seseorang. Pada umur itulah ia membenci agama. Hukum agama digunakan untuk memenjarakan nalar.

0 Comentarios

Follow Me On Instagram