Ma’rifat Perempuan: God is nothing

Wahhhh  cantikkkkkkkkk. Begitu saya memuja perempuan yang selalu membuat diri ini jatuh dalam melankoli cinta, bertandang di mata, tetapi tidak tahu alasannya, sekali melihat, hati terasa ingin kembali pada masa di mana kita bermain dalam obrolan sosmed itu. Tapi  sayang !, sekarang sudah tidak seperti dulu.

Semasa kuliah, Hp android yang sering bikin saya gagal fokus, sempat saya benci. Dikirm ke rumah dengan rela meski nanti akan kehilangan banyak informasi. Semenjak saya memegang hp dengan tekhnologi itu, idealiseme yang Tuhan berikan seperti tak berguna, gelap dan tak punya pandangan oleh alat itu.

Kebencian itu berlangsung selama kurang lebih 5 bulan. Waktu itu saya hanya mempunyai hp not-nonot. Menurut teman-teman, hp itu lebih cocok dipegang oleh orang keron (kolonial). Tapi sebentar, walaupun orang dulu tidak ‘sematrek’ orang sekarang, jangan berani menantang idealismenya .

Ingatkah kita pada Soekarno, presiden pertama kita Inodonesia? Beliau membaca buku satu hari selama 8 jam serta mengusai 18 bahasa dunia. Tan Malaka juga tak kalah persaingan, ia meluangkan waktunya 8 jam untuk membaca buku. Jadi, tanpa alat yang kita punyai sekarang, di sana ada sebuah persaingan ketat idealisme dalam samudra pengetahuan. Hingga tak harus kita bersikap wajar kalau Indonesia diperkenalkan oleh mereka ke seantero dunia, seperti Soekarno yang menguasai 18 bahasa itu. Bila mengingat hal itu, badan ini lemah, terasa tak pantas hidup di negeri pengetahuan ini.

Tapi lagi-lagi saya didatangi perempuan itu. Saya tak pernah mengangapnya hantu, apalagi kolonial yang mau memburu saya. Hanya saja setiap dipertemukan dengannya oleh waktu, oleh dunia, dan oleh takdir, jujur dan memang harus mengakui, saya tak bisa menahan untuk berusaha menghindarinya. Badan ditahan. badan Struk, gerak badan hanya karena sebab depresi darah hingga berakibat terjadinya gerakan. Mata dipaksa tak boleh melirik lainnya, kecuali ke padanya.

Dalam moment itu, saya merasa hanya Dia yang mampu memberikan semangat hidup. Jika sewaktu saya patah semangat, tiba-tiba perempuan itu bertandang di mata, saya menjadi tak paham, seperti sedang kedantangan ilham yang entah dari siapa. Ketika berpikir Tuhan, mungkin tidak. Sebab yang saya rasa hanya perempuan itu. Perempuan itulah seperti Tuhan yang menghidupkan semangat hidup.

Kemudian saya kembali teringat dengan buku filsuf mudah Mohammad Alfayyadh; Filsafat Negasi tentang negasinya terhadap persoalan yang tak pernah kelam dalam samudra filsafat: tentang ada yang tak pernah berhenti diperbincangnkan. Ada akan selalu ada, itu tidak akan pernah tidak ada. Saya sudah merasa kapok ketika berada dalam diskusi-diskusi tiba pada peng-ada-an itu.

Jangankan saya, filsuf tersohor pun, seperti Aguste Comte, Hidegger, Thales dan filsuf lainnya, serta tak heran bila akhirnya ada menjadi cogito ergo some (if i think therefore i’m) yang pertama kali keluar dari sang pujangga Rene Descartes filsuf ternama Perancis itu. Kesimpulan akhirnya; ada tak pernah tidak akan ada di dunia filsafat.

Ada selalu mengabadi, karena di dalamnya mengandung makna yang takpernah terjawab dalam sebauh pertanyaan; mengapa aku ada? Di sanalah semua orang kelimpungan, bahkan kapok. Maka ada telah menjadikan kami filsuf kawakan.

Tapi semua yang ada dianggap sudah punah. Ia sudah mati sejak sudah ada. Itu sudah tak pantas dibahas kembali. Karena ia sudah biasa dibahas, tugas filsafat adalah untuk yang akan ada. Begitulah cara Alfayyad menegasikan yang ada sebagai sesuatu yang telah jadi sampah dan tak perlu dibahas kembali.

Ada itu tidak ada, yang ada adalah yang akan ada. Sebab ketika yang ada telah melahirkan yang akan ada ia sudah tidak pada tempatnya. Akan ada merupakan sesuatu yang terberikan oleh ada. Dan, tidak mungkin ada yang telah mengadakan yang ada sementara ia masih ada. Tempat tak ada lagi bagi ada dan akan ada yang sejatinya para orang filsafat bahaskan.
Setelah membaca pikiran bung Fayyad, saya kembali teringat pada Stoisisme (Marcus Aurelius) satu dari ajaran Zeno tentang; utama ketika menghapus hawa nafsu dalam diri setiap manusia. Mereka mengajarkan bahwa manusia harus ada relation to world; alam. Apa itu; melakukan apa yang alam inginkan, dan menghindari apa yang tidak diinginkan. Tapi ada yang paling penting dari jaran itu, kehendak diri sendiri adalah yang paling utama tapi dengan tetap ada relation to world.

Mengagumi perempuan itu adalah salah satu kehendak saya. Mungkin karena cinta itu akan selalu ada dalam hari demi hari saya. Toh! Walaupun perempuan itu selalu menegasikan adanya setiap perjumpaan di depan saya. Tapi saya juga tak putus asa karena sudah dikasih ajimat oleh Alfayyadh bahwa yang ada itu yang akan ada. Jadi dari semua itu telah terbangun keyakinan bahwa telah adanya cinta akan segera muncul adanya cinta kembali. Dan, saya mengaharap itu adalah perempaun itu.

Bila anda bertanya, kapan saya semangat? Maka jawaban saya adalah, ketika melihat perempuan itu. Apakah ada seseorang selain dia yang membangkitkan semangatmu? Saya jawab tidak!. Dosen pun tidak, teman tidak, orang Tua malah sering nanya nanya, dan saya paling males ketika ditanya sesuatu yang tak penting, semua di dunia ini belum saya temukan orang yang bisa menyemangati saya, kecuali seorang, dialah perempuan saya sebutkan.

Sekali lagi, apa yang ada dalam pikiran anda ketika sedang menung diri, di saat lagi gak mood dan di saat lagi gak enak badan? Jawabannya; kalau anda ingin tahu keadaan saya ketika menung diri, datanglah segera ke kontrakan UKPI dan akan saya ceritakan semua yang ada dalam pikiran. Kau akan tahu, karena saya akan menahukanmu. Kalau anda tidak tahu jalan, anda bisa datang ke Komisyari’at PMII masuk ke gang IAIN lalu terus jalan dan belok kiri, di samping kiri jalan anda akan melihat slogan Komisyari’at PMII UIN Sunan Ampel Surabaya. Segeralah sms saya kemudian akan segera mungkin saya menjemput anda.
***
Islam telah lama mengajari saya berdoa ketika jatuh dalam sebuah masalah. Setiap kali ada masalah yang cukup berat, saya menada dan meminta pertolongan persis seperti yang agama ajarkan, tapi tidak ada hasilnya. Seperti Tuhan tak mengerti keadaan hambanya, sifat penyayang, pemurah, pengasih serta sifat lainnya akhir-akhir ini sudah membuat saya goyah untuk mempercyainya lagi. Itulah perempuan yang akhir-akhir ini saya anggap Tuhan.

Semasa menjadi santri di Pesantren Annuqayah Sumenep saya pernah diajarkan kitabnya Mbah al-Ghazali, katanya untuk bisa sampai pada keharibaan Tuhan ada beberapa rute yang harus manusia jalani. Pertama syari’at, artinya manusia harus benar-benar menjalankan aturan dan hukum (syari’at) yang ditetapkan oleh Allah.

Kedua, thariqat, atau dengan kata lain tarikat yang artinya berjalan. Artinya disini manusia harus benar-benar menjadi manusia yang bertaqwa sehingga di manapun ia berada selalu diridhai Allah. Karena ridha penanda bahwa manusia itu sudah ada kedekatan dengan Tuhannya, dan lainnya, yang paling penting adalah ketika manusia sampai pada tingkatan ma’rifat, ia kan mengalami suatu keterarahan diluar sensibiltas-nya. Artinya manusia yang bisa menyelami samudra Tuhan (ma’rifat) itu, dinamika gerak dirinya akan tercover selamanya sebagai makhluk yang dicintai.

Tapi bagi saya sendiri, dan melihat Stoisisme dengan mengikuti kehendak diri sendiri (intensional, intensi) lebih baik dari pada jalan yang begitu menyulitkan. Dan lagi belum tentu rute jalan menuju Tuhan ada kebaikan tersendiri (manfaat) terbesar bagi saya. Saya pernah melihat orang mencoba menjalani rute itu, tapi hasilnya berada diluar intensinya, apa yang disebut Nichzee menuhan itu adalah gila saya terkadang setuju.

Tapi gila yang bermanfaat itu masih mendingan. Sebab Nichzee bukan juga tak pernah gila, dalam sejarahnya, ia dianggap gila, tapi sebab lantaran claimnya tentang Tuhan kosong; tidak ada, dan beragama hanya membuat ketergantungan manusia pada pranata (syari’at) agama. Akhirnya dengan rute itu, yang dianggap selaras dengan dirinya sendiri, ia mendapati ektase intensionalnya dalam dunia ini.

Tapi saya juga tidak setuju pada salah satu rute ala Nichzee itu, ketika seorang perempuan menjadi sesuatu yang paling ia hindari. Mungkin saja (dalam penafsiran saya, hanya penafsiran saja ya, sebab saya bukan ahli sejarah dan filsuf) ia tak normal dan tidak tahu tentang perempuan. Pemahamannya pada cinta sebagaimana dikatakan al-Ghazali; tak sampai tingkatan ma’rifat, (kalau  dalam bahasa saya, ma’rifat perempuan).

Orang yang bisa sampai pada ma’rifat perempuan, dengan kata lain menyatukan dirinya, atau memahami yang sebetulnya. Perempuan dapat dijadikan apa saja di dunia ini, dalam segala keperluan kita. Barangkali betul adanya tentang pepatah lama; bayak jalan menuju roma, seseorang yang cerdas dalam hal mengendali maka apa saja yang ada di sekitarnya dapat dijadikan sebagai sesuatu  yang sekiranya bermanfaat kepada dirinya.

Termasuk Ma’rifat Perempuan tadi,itu dapat menghilangkan segala kepercayaan yang ada. Ia Tuhan. Dukun. Kiayi. Tukang Ramal dll. Dalam rute ini, menuju pada jalan yang sekiranya bermanfaat dan tak merugikan, maka selamilah segala sesuatu sampai pada apa yang dikatan oleh Rene Descartes  idea innatte yaitu alam bawah sadar anda juga terpantuli sebuah titk keterangan (cahaya).

Tapi jangan mudah percaya ya..... sama omongan saya dalam catatan ini, hehehe. Sebab kata orang-orang, bila rasa sudah menggunung, maka kata-kata juga akan demikian dengan sekaligus keindahannya. Misi Suci adalah sebuah ranah di luar hidup saya. Misi Suci ini adalah sebuah ruang pengabadian agar semasa hidupnya tidak ditimpa kerugian, dengan model oret-oretan saja. Rugi itu tidak enak kan?







0 Comentarios

Follow Me On Instagram