MEMBENTUK  UINSA MENJADI WORD CLASS UNIVERSITY DENGAN LATAR KULTUR PESANTREN
Oleh. M. Hariri
Pendahuluan
            Ketika sebutan Agent of Change sebagai reputasi diberikan kepada mahasiswa, kita telah mempercayai bahwa sosok mahasiswa mempunyai kemampuan dan sikap kritis baik untuk merubah dan menghadapi segala perubahan. Dalih sebutan kepada mahasiswa tersebut telah dibuktikan dengan banyaknya sumbangan mahasiswa dalam intervensinya kepada Indonesia. Tahun 1998 mahasiswa juga telah menjadi salah satu motor penghujat pemerintah yang sudah tidak lagi mencerminkan ketidak jelasan ketika masyarakat tidak berbuat apa-apa.
            Ketika Agent of Control juga dipersembahkan kepada mahasiswa, kita juga dapat melihat banyaknya perubahan dan sumbangan mereka ketika Indonesia sedang dihujat-hujat untuk goblok oleh globalisasi. Mereka dalam skala dunia yang luas ini selalu menjadi agent kontrol yang kita punyai dari setiap sikap yang selalu terkecuali pada diri kita. sehingga jelas sekali keberadaan mereka di dunia ini menjadi suatu anugerah yang diberikan kepada kita semua.
            Perguruan tinggi normatifnya untuk menciptakan pemuda seperti mereka harus melalui pelbagai cara yang bisa dibilang agak cukup rumit. Misalnya menyediakan pengajaran yang efektif dan menyediakan kebebasan berpendapat. Sehingga  Perguruan tinggi disini seperti yang dikatakan oleh Franz Magnis Suseno telah memberikan dua perubahan kepada mahasiswa. Pertama ia memberi kepadanya suatu pengetahuan dan atau keterampilan di bidang tertentu, kedua, mau takmau mahasiswa sebagai manusia pun dibentuk oleh universitas kearah positif atau kearah negatif.[1]
            Kampus UINSA dengan latar belakang keislamannya yang kuat adalah sebagian kampus islam negeri dari kampus islam negeri lainnya yang telah ikut andil dalam mencerdaskan anak pemuda bangsa. Objek yang dituju supaya bisa lebih efektif dalam mengajar dan membingbing mahasiswa, UINSA telah menyediakan banyak hal, seperti labolatorium, perpustakaan yang berakreditasi A dan banyak hal lainnya. Tiada lain semua yang dilakukan oleh pihak universitas adalah demi kebaikan pemuda bangsa yang telah mengambil bidang studinya dikampus ini.
            Yang paling menarik disini (UINSA) adalah berkeloborasinya mahasiswa dari pelbagai daerah dan alumni. Ada sebagian mahasiswa yang alumni dari pesantren dan sebagian yang lainnya tamatan SMA sedarajat. Jadi pergulatan perguruan tinggi menuju masa depan yang cerah telah diwarnai dengan beberapa kultur yang beragam.
            Namun keberagaman akibat dari kaloborasi antar mahasiswa dari berbagai daerah dan alumni dalam segi pengajaran, pengabdian, dan pembentukan moral telah menjadi suatu permasalahan yang akan selalu dihadapi perguruan tinggi kedepan. Semisal bagaimana menciptakan kemampuan yang merata dan mencocokkan ilmu keislaman terhadap mahasiswa non pesantren. Karena realita membuktikan ketika dalam sebuah kelompok terjadi yang namanya tingkatan yang berbeda tentu sesuatu yang akan dibagikan juga akan berbeda, walaupun sama mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama.
            Oleh karena demikian, objek kajian dalam tulisan ini akan membahas mengenai peran mahasiswa menuju word class university dengan latar atau model kultur seperti di Pesantren. Pesantren secara fakta kejadiannya juga bisa dikatakan sama dengan kejadian yang terjadi di kampus UINSA ini, dimana letak permasalahannya adalah keberagaman santri, baik itu daerahnya, kualitas kemampuannya dan kebiasaannya. Sehingga pesantren disini juga dituntut untuk bisa meratakan semua santri pada ranah intelektual islam yang hebat.
            Penulis pikir hal ini masih jarang dipikirkan oleh perguruan tinggi lainnya. Sebab perguruan tinggi normatifnya menurut kaca mata Suseno banyak menimbuni mahasiswa dengan banyak bahan yang harus dipelajari. Sehingga kualitas bahan terus bertambah, tetapi perencanaannya dengan sendirinya berkurang.[2] Akibatnya, tanpa sebuah usaha (pihak univesrsitas atau mahasiswa) bagaimana sekiranya bisa menciptakan kesatuan atau pemerataan, mahasiswa hanya puas dengan pengetahuan formal saja, asal saja ia lulus ujian.
Mengetahui hal tersebut menjadi jelas kalau hal ini sangat dibutuhkan. Kebutuhan untuk menuju kampus yang word class university ternyata bukan hanya ditunjang dengan bayak bahan ajaran saja, melainkan bagaimana memahami keadaan sekitar antara perbedaan dan persamaan, sehingga mereka semua bisa menjadi intelektual hebat dan menjadi panutan masyarakat. Oleh karena demikan disini penulis ingin mencoba mengimplementasikan kultur pesantren yang sama dengan keadaan yang ada dikampus UINSA , baik itu nanti bagaimana seharusnya bagi mahasiswa atau pihak kampus dalam menyikapi persoalan ini, sehingga cita-cita menuju kampus yang berkelas bisa dicapai dengan puas oleh kita semua.
Latar Kehidupan Mahasiswa UINSA
            UINSA merupakan kampus Islam negeri yang berada di tengah-tengah kota surabaya dengan sebuah bagunan twin tower yang menjadi ciri khasnya telah menyimpan sebuah rahasia khusus di dalamnya, yaitu terdapatnya mahasiswa agamis dan mahasiswa gaul. Adanya hal tersebut bisa dikatakan bahwa kita telah mengenal kampus ini terdiri dari yang  namanya sebuah perbedaan.
            Perbedaan mahasiswa telah menjadi  sebuah keniscayaan untuk UINSA. Ketetapan yang menuntut untuk bagaimana sebagai perguruan tinggi bisa menjadikan semua mahasiswanya berkompotent dan mempunyai talenta yang baik. Sehingga kemudian meskipun adanya perbedaan tersebut menghalangi tujuan, yang namanya sebuah pengajaran tetap harus dijalankan.
            Namun setelah memandang kembali pada apa yang telah terjadi, disadari atau tidak ternyata persoalan perbedaan tadi menjadi suatu kendala besar bagi kampus dan juga bagi mahasiswa dalam suatu pembelajaran. Karena letak permasalahannya berada dalam transformasi atau penyampaian terhadap mahasiswa dengan status alumni yang berbeda. Misalnya, ketika dosen memberikan mata kuliah agama kepada mahasiswanya itu secara kemungkinan besar hanya akan dimengerti oleh mahasiswa yang alumni dari pesantren, sedangkan yang bukan alumni pesantren hanya mejadi pendengar setia saja kecuali mereka yang sudah pernah mengenyam pendidikan agama sebelumnya meskipun bukan dipesantren.
Namun demikian, adanya sebuah persoalan perbedaan disini membuat misi kampus kemungkinan macet. Macetnya berada pada mahasiswa non santri yang enggan untuk mempelajari ilmu keagamaan dengan sungguh-sungguh, sehingga kemudian hal ini akan berakibat pada yang namanya dekadensi misi kampus dalam tujuannya.
Sebutan dekadensi misi disini akan tampak sekali dalam pengetahuan keagamaan. UINSA secara hakikatnya adalah kampus islam negeri yang mempunyai cita-cita mengembangkan ilmu kegamaan, kemungkinan besar persoalan yang terjadi diatas beserta sebabnya bisa saja menyeret kampus ini keluar dari kampus dengan latar menjungjung ajaran agama, karena satu alasan yaitu tidak bisa mengembangkan ilmu agama dengan baik.
Mengingat pada tridarma semua perguruan tinggi yang salah satunya adalah pengabdian hal ini kemudian akan menjadi persoalan besar bagi kampus dan mahasiswa. Persoalan minimnya pengetahuan yang dialami mahasiswa bisa saja tidak akan dirasakan sekarang, namun akan dirasakan nanti ketika mereka melakukan tugas akhir kuliah KKN atau tamat kuliah. Mereka akan berhadapan langsung dengan sebuah masyarakat yang sangat membutuhkan ilmu agama.
Selain itu juga, untuk menuju kampus yang berkelas dunia, mahasiswa di perguruan tinggi juga tidak hanya dituntut untuk bisa menjadi orang kritis, melainkan sebagai orang yang dipercaya. Kekritisan seorang mahasiswa terhadap segala hal seperti halnya tragedi klaim mengenai Tuhan Membusuk yang tejadi di UINSA sendiri bukan salah satu yang paling urgen menuju kampus yang berkelas. Sebuah kampus yang berkelas tidak hanya menciptakan sebuah ke kritisan pada mahasiswa melainkan juga yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan sebuah rasa kepercayaan pada semua orang disekitar kita.
Mengapa disini kemudian sebuah kepercayaan menjadi hal terbesar untuk menuju kampus yang berkelas, karena normatifnya masyarakat hanya butuh yang namanya suatu jaminan kemutuan dan hasil yang menjanjikan keilmuannya terhadap dunia sosial. Itulah yang dibutuhkan masyarakat sesungguhnya. Menciptakan seorang mahasiswa yang kritis tapi tidak menjanjikan hasilnya itu sama saja menghilangkan sebuah kepercayaan. Ketika kepercayaan hilang maka pandangan masyarakat terhadap UINSA kemungkinan besar jauh lebih bermasalah.
Itulah latar belakang yang penulis ketahui dari kampus UINSA, dengan latar belakang mahasiswa yang terbagi menjadi dua golongan, sebuah bentuk pembelajaran dan pengabdian menjadi suatu kendala besar. Perbedaan kemampuan mahasiswa baik yang  santri dan yang non santri menuntut kita bagaimana bisa menciptakan kesetaraan keilmuan pada semua masing-masing mahasiswa.
Mengenal Pesantren Lebih Jauh
            Pesantren merupakan lembaga keagamaan tertua di Indonesia yang menurut penulis juga mempunyai persamaan dengan latar belakang kampus UINSA yaitu terdapatnya berbagai santri yang beragam, dan hal ini tidak jauh dengan apa yang tejadi dengan kampus UINSA.
            Dipesantren dalam kegiatan transformasi keilmuan, pesantren berusaha menciptakan sebuah kebersamaan yang kerap tanpa sebuah acuan latar belakang setiap santri yang berbeda. Bahkan secara kreatifnya sebuah perbedaan yang ada malah dijadikan sebagai bentuk reputasi bahwa disini pesantren mampu menciptakan keadaan yang lebih efisien dan menjanjikan. Sehingga bentuk pembelajarannya memang sungguh disuguhi dengan baik.
            Beberapa bentuk suguhan pembelajaran yang pesantren lakukan salah satunya ialah menciptakan asrama khusus semisal asrama bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Bentuk suguhan disini ternyata untuk mengatasi persoalan perbedaan talenta bisa dibingbing dengan baik seharian, sehingga kemudian ketika santri melakukan pembelajaran formal lebih gampang untuk memahami. Suguhan yang seperti ini menjadikan santri lebih sederhana dalam mempelajari suatu bidang studi meskipun sebelumnya ada santri yang masih belum paham keagamaan.
            Bentuk suguhan selanjutnya berupa bimbingan khusus baca kitab kuning. Sudah kita ketahui bahwa kemampuan bisa membaca kitab kuning oleh santri adalah harapan besar masyarakat ummat islam. Disini pesantren dalam memenuhi harapan masyarakat menciptakan sebuah asrama atau bimbingan khusus bagi santri yang minat membaca kitab kuning, dan memberikan yang terbaik kepada mereka. Sehingga kemudian usaha yang seperti ini membuat santri lebih terbantu membaca kitab kuning dengan baik.
            Hal lain yang penulis temukan dari pesantren ini adalah adanya sebuah kebersamaan yang dimiliki para santri. Ia saling hidup menghidupi, bantu-membantu dan mengatasi nasib bersama serta menentukan mimpi bersama. Kebersamaan yang unik yang dimiliki pesantren disini dapat kita lihat seperti yang dikatakan oleh Taufiqurrahman dalam bukunya Harmoni Dimata Kaum Pemuda (2013, 47) dimana ketika santri menunggu matangnya dengan wajah yang ceria dan setelah matang mereka makan bersama dalam satu talam. Disana sebuah status perbedaan santri baik kaya atau miskin sama sekali tidak terlihat. Jadi sebuah kebersamaan menjadi salah satu solusi untuk menyembunyikan sebuah perbedaan.
            Mungkin suatu pertanyaan besar bagi kita semua, mengapa pesantren sampai saat ini masih bisa bertahan dan masih terus menyumbangkan keilmuannya terhadap khalayak masyarakat. Hal ini dalam pandangan Abd. A’la dalam bukunya Pembaruan Pesantren menyatakan karena pesantren dalam ”strata sosial kemasyarakatan memiliki pengaruh yang cukup kuat pada hampir seluruh aspek kehidupan dikalangan masyarakat muslim pedesaan” [3]. Kuatnya pengaruh tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikansi terhadap way of life  dan sikap masyarakat islam di daerah pedesaan. Karena hal ini tidak bisa lepas dari keterlibatannya pesantren.
            Pesantren dalam dunia sosial lebih memilih bentuk aksi apresiasi konkrit sebagai lembaga keagamaan, dan sebagai pendidikan yang sarat dengan nuansa transformatif sosial, berikhtiar dan mengabdi pada masyarakat. Sehingga kemudian tidak heran lagi bila sebuah ketertarikan dari masyarakat untuk pesatren sangat tinggi.
            Namun demikian, suatu perubahan dinamika sosial yang bisa kita sebut sebagai dampak globalisasi yang akan mengancam keberadaan pesantren dalam tradisi yang sudah tertanam mulai sejak berdirinya. Ancaman disini bisa menghilangkan dari minatnya santri untuk mendalami ilmu agama dengan latar akibat masuknya pengetahuan baru. Bahkan pemikiran liberalpun sekarang sudah mulai masuk dan tak ayal bila terkadang kita menemukan sebagian santri yang berpikiran aneh dan radikal.
            Namun ternyata kekhawatiran kita malah terpojok dibawah dampak globalisasi. Pesantren disini terhadap datangnya ancaman ternyata bukan justru menolak dan menghindar, malah dampak tersebut dijadikan sebuah katalisator khusus bagi para santri kedepan bagaimana menyikapi keadaan yang baru. Sehingga kemudian kebiasaan lama pesantren tidak hilang ketika mencoba memahami datangnya sesuatu yang baru. Sehingga kemudian sikap pesantren terhadap dinamika kehidupan dikenal dengan semboyan al­-muhaafadzatu ‘ala al qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-ashlah. 
Zamakhsyari Dhofir juga pernah menyatakan bahwa pada dekade akhir-akhir ini, karir pesantren sedang mengalami perubahan-perubahan yang fundamental dan juga telah ikut memegang peranan dalam proses transformasi kehidupan modern di indonesia. Ilmuan lain Kuntowijoyo juga mengatakan bahwa pesantren saat ini telah mengalami perkembangan yang berarti, bahkan dengan cara yang makin menyangkal definisinya sendiri.
Sehingga kemudian Abdurrahman Wahid menyebut pesantren sebagai sebuah subkultur yang memiliki kaunikan dan perbedaan cara hidup dari umumnya masyarakat Indonesia.[4]  Dan semboyan pesantren islam rahmatan li al ‘alamin menunjukkan keberanian untuk menghadapi dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Pesantren sebagai sebuah sub-kultur justru berada pada posisi yang terbuka terhadap perubahan.         
Inilah bentuk kehidupan pesantren di dunia agamisnya terhadap masyarakat Indonesia. Pengabdiannya sangat bernilai dan santrinya menjadi penuntun meminjam bahasanya Ahmad Baso pada dekadensi masyarakat terhadap pengetahuan keagamaan sekarang: sedikitnya orang-orang yang tahu akan ilmu keagamaan, utamanya kitab kuning, yang banyak menyinggung masalah moral, etika dan tauhid.[5]
Oleh karena itu Pesantren disini menjadi sangat sarat dengan masyarakat, pertama didudukung karena memang cirinya sebagai lembaga keagamaan masih mempuyai dampak signifikan dimata masyarakat. Sindu Galba Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi menyatakan bahwa warga pesantren telah dianggap oleh warga masyarakat sebagai orang-orang yang mampu untuk ditanyai mengenai masalah pengetahuan agama, sehingga setelah yakin akan kemampuan warga pesantren masyarakat tidak ragu lagi untuk menitipkan anak-anaknya kepesantren.
Mengetahui adanya kultur dan sistem yang di implementasikan pesantren, sepanjang masa masih belum ada klaim mengenai kelas-kelas pesantren, yang terpenting bagi pesantrena adalah bagaimana mencipatakan sebuah kepercayaan kepada semua masarakat.
Alangkah baiknya bila sebuah kebiasaan santri dipesantren menjadi kebiasaan mahasiswa UINSA. Kebiasaan tanpa melihat status materi dan teman, kebersamaan dan adanya program asrama tetap untuk mengembangkan keilmuan mahasiswa dalam bersaing dengan dunia internasional beserta ilmu umumnya. Maka mahasiswa UINSA secara pasti menjadi satu-satunya mahasiswa compilte dalam pentas ideologi.
Dari Pesantren Untuk UINSA, Dari UINSA Untuk Pesantren
            Setelah membahas tentang kehidupan mahasiswa UINSA dan pesantren penulis akan membagikan beberapa persaman dari keduanya yang apabila keduanya saling terterapkan kemungkinan akan menjadi suatu hal yang besar, dan barangkali menjadi jalan untuk UINSA menuju kampus yang berkelas Internasional. Dengan demikian menuju kampus internasioanal maka menurut penulis hendaknya kedua-dua hal tersebut harus sebagai berikut.
            UINSA dan pesantren adalah dua institusi yang kebetulan sangat mirip sekali dalam berorientasi pada dunia keilmuan. Dimana orientasi menujunya dibarengi dengan sebuah perbedaan murid baik itu dari daerah, keilmuan dan kebiasaannya. Pesantren sebagaimana penulis bahas di depan dengan sikapnya membuatnya tidak dapat diklaim dengan sembarangan dan sumbangan keilmuannya sangat besar pada bangsa ini.
            Maka setelah itu UINSA sebagai Institusi yang memiliki kemiripan dengan pesantren meskipun tidak pernah disadari  hendaknya baik itu mahasiswa atau dosen bisa memiliki sikap kebersamaan tanpa sebuah pemahaman menilai apakah orang disekitar kita pantas menjadi seorang teman. Sebab realitas kehidupan UINSA menjadi seorang teman membutuhkan seleksi terlebih dahulu. Seleksi dari materinya, keilmuannya atau bahkan  menjadi sahabatnya.
            Dan demikian juga kampus ini seharusnya memiliki sebuah asrama khusus bagi mahasiswa yang fokus dalam suatu keilmuan. Sebab hal itu sangat mendukung sekali kepada mahasiswa ketika dari sebagian mahasiswa mempunyai minat yang tinggi. Mungkin jurusan memang dapat dikatakan sebagai orientasi yang fokusnya pada suatu bidang, namun faktanya disini jurusan hanya menjadi persimpangan mahasiswa untuk menerima nilai tanpa sebuah pendalaman.
            HMJ meskipun telah menghimpun mahasiswa perjurusan untuk mendalami sebuah jurusan yang diambil, tapi tetap tidak bisa memberikan sumbangsih besar kepada UINSA apabila kebersamaan masih jauh dari harapan. Dan hal itu benar sekali, sebab jarang sekali mahasiswa tidak mengahdiri kajian khusus yang diadakan oleh HMJ ini, lalu kemudian apa yang akan menjadikan UINSA ini menjadi kampus yang berkelas internasional. Oleh karena demikian sitem kebersamaan yang dimiliki pesantren harus benar-benar ditanam, supaya cita-cita prodi mahasiswa untuk kebaikan baik itu mahasiswa dan kampus bisa tercapai dengan baik.
            Untuk mencapai kampus yang berkelas internasional, kampus tidak hanya dominan dalam ilmu umumnya, melainkan juga ilmu agamanya. Ilmu keagamaan seakan-akan salah satu penopang  kita untuk mencapai apa yang kita inginkan. Dalam ilmu agama ketika kita berbicara akhlaq maka disini akan menjadi pandangan masyarakat, sehingga kemudian akan tercipta yang namanya sebuah kepercayaan.
            Secara garis besar, kebutuhan sebenarnya kampus ini hanyalah menciptakan sebuah kepercayaan pada setiap orang. Karena kepercayaan disini sangkut pautnya dengan masyarakat. Sebab tidak mungkin masyarakat akan menyekolahkan anaknya pada sebuah kampus yang dipercayai sebelumnya tanpa sebuah kepercayaan. Contoh misal kampus ini sebelumnya telah dikenal sebagai kampus yang masih abstrak jaminannya, maka kemudian yang akan terjadi sebuah minat masyarakat hilang karena sebuah kepercayaan sudah hilang ditelan sikap kampus tersebut.
            Oleh karena demikian, disela-sela kampus UINSA berusaha menciptakan kampus yang bertaraf internasional dengan segala cara yang dilakukan, namun satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah mempertahankan yang namanya kepercayaan. Apabila sebuah kepercayaan telah tertanam pada setiap masyarakat maka cita-cita menjadi kampus yang berkelas tinggi juga dapat dipastikan.
            Kita sebagai mahasiswa tidak boleh lupa walaupun kita kritis sehingga kita bisa melakukan segalanya, seperti Tuhan Membusuk yang dijadikan tema OSSCAR tapi kita harus bisa menjaga kepercayaan masyarakat sebagaimana pesantren menjaga kepercayaanya dari masyarakatnya.
            Menciptakan kultur pesantren di kampus UINSA sangat cocok sekali, karena tridarma perguruan tinggi akan semakin lengkap dan terpenuhi. Menjadi orang yang mengabdi dengan sebuah keilmuan yang mapan, dan menjadi pengajar juga sangat tepat karena mahasiswanya lahir dari rahim UINSA yang memiliki kepercayaan dari masyarkat, serta penelitian disini juga akan melengkapi kebutuhan mahasiswa menjadi mahasiswa yang benar-benar berintelektual.
            Penulis sebagai mahasiswa UINSA sendiri menyadari bahwa sebenarnya kampus UINSA ini memiliki kemiripan dengan pesantren, namun hanya saja bentuk orientasinya masih berbeda. Perbedaan tersebut barangkali yang memubuat kampus ini tidak mencapai taraf kelas internasional. Sumbangan paduan suara yang pernah meraih mendali emas di Singapura sebanarnya bukan dalih menuju kampus berkelas, kecuali kampus ini memang benar-benar bisa menciptakan keilmuan agama dan umum yang kuat beserta menaruh kepercayaan pada hati masyarakat.
Catatan Akhir
            Karya tulis ini sebenarnya bertujuan untuk mengekspresikan mengenai apa yang penulis sadari bahwa sebenarnya UINSA bisa mencai kampus yang word class university. Sebab setelah penulis menemukan sebuah kemiripan pada kampus ini dengan pesantren, penulis langsung berfikir andai kampus ini mempunyai orientasi beserta kultur seperti di pesantren maka tak bisa membayangkan sekelas apakah kampus ini. Tapi yang pasti kepercayaan akan menjadi hal yang paling besar dari masyarakat dan menuju kampus yang bertaraf internasional sudah pasti bisa.
            Oleh karenanya, tulisan ini adalah peran penulis sebagai mahasiswa UINSA untuk menuju kampus yang bertaraf internasional. Semoga tulisan ini bukan hanya menjadi tulisan yang diseleksi melainkan juga bisa menjadi pembaruan terhadap kampus tercinta ini. Sekian terimakasih.
Penulis adalah Pengurus UKPI UINSA dan mahasiswa Bidikmisi’15

DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren, cetakan pertama, Yogyakarta: LkiS.
Galba, Sindu. 1995. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Cetakan Kedua, Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Magnis Suseno, Franz. 1991. Berfilsafat Dari Konteks, Jakarta: Gramedia.


[1] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari Konteks (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm, 11
[2] Ibid., hlm, 9.
[3] Abd  A’la, Pembaruan Pesantren  (Yogyakarta: LkiS, 2006), hlm, 2.
[4] Abdurrahman Wahid, pergulatan negara, agama, dan kebudayaan  (Desantara: jakarta, 2001), hlm. 133.
[5] Ahmad Baso dalam makalah NU Studies Vis-A-Vis Islamic Studies: Persektif dan Metodologi dari, oleh dan Untuk Islam Indonesia

0 Comentarios

Follow Me On Instagram