MEMBENTUK UINSA MENJADI WORD
CLASS UNIVERSITY DENGAN LATAR KULTUR PESANTREN
Oleh. M. Hariri
Pendahuluan
Ketika
sebutan Agent of Change sebagai reputasi diberikan kepada mahasiswa, kita
telah mempercayai bahwa sosok mahasiswa mempunyai kemampuan dan sikap kritis
baik untuk merubah dan menghadapi segala perubahan. Dalih sebutan kepada
mahasiswa tersebut telah dibuktikan dengan banyaknya sumbangan mahasiswa dalam
intervensinya kepada Indonesia. Tahun 1998 mahasiswa juga telah menjadi salah
satu motor penghujat pemerintah yang sudah tidak lagi mencerminkan ketidak
jelasan ketika masyarakat tidak berbuat apa-apa.
Ketika Agent of Control juga
dipersembahkan kepada mahasiswa, kita juga dapat melihat banyaknya perubahan
dan sumbangan mereka ketika Indonesia sedang dihujat-hujat untuk goblok oleh
globalisasi. Mereka dalam skala dunia yang luas ini selalu menjadi agent
kontrol yang kita punyai dari setiap sikap yang selalu terkecuali pada diri
kita. sehingga jelas sekali keberadaan mereka di dunia ini menjadi suatu
anugerah yang diberikan kepada kita semua.
Perguruan tinggi normatifnya untuk
menciptakan pemuda seperti mereka harus melalui pelbagai cara yang bisa
dibilang agak cukup rumit. Misalnya menyediakan pengajaran yang efektif dan
menyediakan kebebasan berpendapat. Sehingga Perguruan tinggi disini seperti yang dikatakan
oleh Franz Magnis Suseno telah memberikan dua perubahan kepada mahasiswa.
Pertama ia memberi kepadanya suatu pengetahuan dan atau keterampilan di bidang
tertentu, kedua, mau takmau mahasiswa sebagai manusia pun dibentuk oleh
universitas kearah positif atau kearah negatif.[1]
Kampus UINSA dengan latar belakang
keislamannya yang kuat adalah sebagian kampus islam negeri dari kampus islam negeri
lainnya yang telah ikut andil dalam mencerdaskan anak pemuda bangsa. Objek yang
dituju supaya bisa lebih efektif dalam mengajar dan membingbing mahasiswa,
UINSA telah menyediakan banyak hal, seperti labolatorium, perpustakaan yang
berakreditasi A dan banyak hal lainnya. Tiada lain semua yang dilakukan oleh pihak
universitas adalah demi kebaikan pemuda bangsa yang telah mengambil bidang
studinya dikampus ini.
Yang paling menarik disini (UINSA)
adalah berkeloborasinya mahasiswa dari pelbagai daerah dan alumni. Ada sebagian
mahasiswa yang alumni dari pesantren dan sebagian yang lainnya tamatan SMA
sedarajat. Jadi pergulatan perguruan tinggi menuju masa depan yang cerah telah
diwarnai dengan beberapa kultur yang beragam.
Namun keberagaman akibat dari
kaloborasi antar mahasiswa dari berbagai daerah dan alumni dalam segi
pengajaran, pengabdian, dan pembentukan moral telah menjadi suatu permasalahan
yang akan selalu dihadapi perguruan tinggi kedepan. Semisal bagaimana
menciptakan kemampuan yang merata dan mencocokkan ilmu keislaman terhadap
mahasiswa non pesantren. Karena realita membuktikan ketika dalam sebuah
kelompok terjadi yang namanya tingkatan yang berbeda tentu sesuatu yang akan
dibagikan juga akan berbeda, walaupun sama mungkin membutuhkan waktu yang cukup
lama.
Oleh karena demikian, objek kajian
dalam tulisan ini akan membahas mengenai peran mahasiswa menuju word class
university dengan latar atau model kultur seperti di Pesantren. Pesantren
secara fakta kejadiannya juga bisa dikatakan sama dengan kejadian yang terjadi
di kampus UINSA ini, dimana letak permasalahannya adalah keberagaman santri,
baik itu daerahnya, kualitas kemampuannya dan kebiasaannya. Sehingga pesantren
disini juga dituntut untuk bisa meratakan semua santri pada ranah intelektual
islam yang hebat.
Penulis pikir hal ini masih jarang
dipikirkan oleh perguruan tinggi lainnya. Sebab perguruan tinggi normatifnya
menurut kaca mata Suseno banyak menimbuni mahasiswa dengan banyak bahan yang
harus dipelajari. Sehingga kualitas bahan terus bertambah, tetapi
perencanaannya dengan sendirinya berkurang.[2]
Akibatnya, tanpa sebuah usaha (pihak univesrsitas atau mahasiswa) bagaimana
sekiranya bisa menciptakan kesatuan atau pemerataan, mahasiswa hanya puas
dengan pengetahuan formal saja, asal saja ia lulus ujian.
Mengetahui hal tersebut menjadi jelas kalau hal ini sangat
dibutuhkan. Kebutuhan untuk menuju kampus yang word class university ternyata
bukan hanya ditunjang dengan bayak bahan ajaran saja, melainkan bagaimana
memahami keadaan sekitar antara perbedaan dan persamaan, sehingga mereka semua
bisa menjadi intelektual hebat dan menjadi panutan masyarakat. Oleh karena
demikan disini penulis ingin mencoba mengimplementasikan kultur pesantren yang
sama dengan keadaan yang ada dikampus UINSA , baik itu nanti bagaimana
seharusnya bagi mahasiswa atau pihak kampus dalam menyikapi persoalan ini,
sehingga cita-cita menuju kampus yang berkelas bisa dicapai dengan puas oleh
kita semua.
Latar Kehidupan
Mahasiswa UINSA
UINSA merupakan kampus Islam negeri
yang berada di tengah-tengah kota surabaya dengan sebuah bagunan twin tower yang
menjadi ciri khasnya telah menyimpan sebuah rahasia khusus di dalamnya, yaitu
terdapatnya mahasiswa agamis dan mahasiswa gaul. Adanya hal tersebut bisa dikatakan
bahwa kita telah mengenal kampus ini terdiri dari yang namanya sebuah perbedaan.
Perbedaan mahasiswa telah
menjadi sebuah keniscayaan untuk UINSA.
Ketetapan yang menuntut untuk bagaimana sebagai perguruan tinggi bisa
menjadikan semua mahasiswanya berkompotent dan mempunyai talenta yang baik.
Sehingga kemudian meskipun adanya perbedaan tersebut menghalangi tujuan, yang
namanya sebuah pengajaran tetap harus dijalankan.
Namun setelah memandang kembali pada
apa yang telah terjadi, disadari atau tidak ternyata persoalan perbedaan tadi
menjadi suatu kendala besar bagi kampus dan juga bagi mahasiswa dalam suatu
pembelajaran. Karena letak permasalahannya berada dalam transformasi atau
penyampaian terhadap mahasiswa dengan status alumni yang berbeda. Misalnya,
ketika dosen memberikan mata kuliah agama kepada mahasiswanya itu secara
kemungkinan besar hanya akan dimengerti oleh mahasiswa yang alumni dari
pesantren, sedangkan yang bukan alumni pesantren hanya mejadi pendengar setia
saja kecuali mereka yang sudah pernah mengenyam pendidikan agama sebelumnya
meskipun bukan dipesantren.
Namun demikian, adanya sebuah persoalan perbedaan disini membuat
misi kampus kemungkinan macet. Macetnya berada pada mahasiswa non santri yang
enggan untuk mempelajari ilmu keagamaan dengan sungguh-sungguh, sehingga
kemudian hal ini akan berakibat pada yang namanya dekadensi misi kampus dalam
tujuannya.
Sebutan dekadensi misi disini akan tampak sekali dalam pengetahuan
keagamaan. UINSA secara hakikatnya adalah kampus islam negeri yang mempunyai
cita-cita mengembangkan ilmu kegamaan, kemungkinan besar persoalan yang terjadi
diatas beserta sebabnya bisa saja menyeret kampus ini keluar dari kampus dengan
latar menjungjung ajaran agama, karena satu alasan yaitu tidak bisa
mengembangkan ilmu agama dengan baik.
Mengingat pada tridarma semua perguruan tinggi yang salah satunya
adalah pengabdian hal ini kemudian akan menjadi persoalan besar bagi kampus dan
mahasiswa. Persoalan minimnya pengetahuan yang dialami mahasiswa bisa saja
tidak akan dirasakan sekarang, namun akan dirasakan nanti ketika mereka
melakukan tugas akhir kuliah KKN atau tamat kuliah. Mereka akan berhadapan
langsung dengan sebuah masyarakat yang sangat membutuhkan ilmu agama.
Selain itu juga, untuk menuju kampus yang berkelas dunia, mahasiswa
di perguruan tinggi juga tidak hanya dituntut untuk bisa menjadi orang kritis,
melainkan sebagai orang yang dipercaya. Kekritisan seorang mahasiswa terhadap
segala hal seperti halnya tragedi klaim mengenai Tuhan Membusuk yang tejadi di
UINSA sendiri bukan salah satu yang paling urgen menuju kampus yang berkelas.
Sebuah kampus yang berkelas tidak hanya menciptakan sebuah ke kritisan pada
mahasiswa melainkan juga yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan sebuah
rasa kepercayaan pada semua orang disekitar kita.
Mengapa disini kemudian sebuah kepercayaan menjadi hal terbesar
untuk menuju kampus yang berkelas, karena normatifnya masyarakat hanya butuh
yang namanya suatu jaminan kemutuan dan hasil yang menjanjikan keilmuannya
terhadap dunia sosial. Itulah yang dibutuhkan masyarakat sesungguhnya.
Menciptakan seorang mahasiswa yang kritis tapi tidak menjanjikan hasilnya itu
sama saja menghilangkan sebuah kepercayaan. Ketika kepercayaan hilang maka
pandangan masyarakat terhadap UINSA kemungkinan besar jauh lebih bermasalah.
Itulah latar belakang yang penulis ketahui dari kampus UINSA,
dengan latar belakang mahasiswa yang terbagi menjadi dua golongan, sebuah
bentuk pembelajaran dan pengabdian menjadi suatu kendala besar. Perbedaan
kemampuan mahasiswa baik yang santri dan
yang non santri menuntut kita bagaimana bisa menciptakan kesetaraan keilmuan
pada semua masing-masing mahasiswa.
Mengenal Pesantren
Lebih Jauh
Pesantren merupakan lembaga
keagamaan tertua di Indonesia yang menurut penulis juga mempunyai persamaan
dengan latar belakang kampus UINSA yaitu terdapatnya berbagai santri yang
beragam, dan hal ini tidak jauh dengan apa yang tejadi dengan kampus UINSA.
Dipesantren dalam kegiatan
transformasi keilmuan, pesantren berusaha menciptakan sebuah kebersamaan yang
kerap tanpa sebuah acuan latar belakang setiap santri yang berbeda. Bahkan
secara kreatifnya sebuah perbedaan yang ada malah dijadikan sebagai bentuk
reputasi bahwa disini pesantren mampu menciptakan keadaan yang lebih efisien
dan menjanjikan. Sehingga bentuk pembelajarannya memang sungguh disuguhi dengan
baik.
Beberapa bentuk suguhan pembelajaran
yang pesantren lakukan salah satunya ialah menciptakan asrama khusus semisal
asrama bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Bentuk suguhan disini ternyata untuk
mengatasi persoalan perbedaan talenta bisa dibingbing dengan baik seharian,
sehingga kemudian ketika santri melakukan pembelajaran formal lebih gampang
untuk memahami. Suguhan yang seperti ini menjadikan santri lebih sederhana
dalam mempelajari suatu bidang studi meskipun sebelumnya ada santri yang masih
belum paham keagamaan.
Bentuk suguhan selanjutnya berupa
bimbingan khusus baca kitab kuning. Sudah kita ketahui bahwa kemampuan bisa
membaca kitab kuning oleh santri adalah harapan besar masyarakat ummat islam.
Disini pesantren dalam memenuhi harapan masyarakat menciptakan sebuah asrama
atau bimbingan khusus bagi santri yang minat membaca kitab kuning, dan
memberikan yang terbaik kepada mereka. Sehingga kemudian usaha yang seperti ini
membuat santri lebih terbantu membaca kitab kuning dengan baik.
Hal lain yang penulis temukan dari
pesantren ini adalah adanya sebuah kebersamaan yang dimiliki para santri. Ia
saling hidup menghidupi, bantu-membantu dan mengatasi nasib bersama serta
menentukan mimpi bersama. Kebersamaan yang unik yang dimiliki pesantren disini
dapat kita lihat seperti yang dikatakan oleh Taufiqurrahman dalam bukunya Harmoni
Dimata Kaum Pemuda (2013, 47) dimana ketika santri menunggu matangnya
dengan wajah yang ceria dan setelah matang mereka makan bersama dalam satu
talam. Disana sebuah status perbedaan santri baik kaya atau miskin sama sekali
tidak terlihat. Jadi sebuah kebersamaan menjadi salah satu solusi untuk
menyembunyikan sebuah perbedaan.
Mungkin suatu pertanyaan besar bagi
kita semua, mengapa pesantren sampai saat ini masih bisa bertahan dan masih terus
menyumbangkan keilmuannya terhadap khalayak masyarakat. Hal ini dalam pandangan
Abd. A’la dalam bukunya Pembaruan Pesantren menyatakan karena pesantren
dalam ”strata sosial kemasyarakatan memiliki pengaruh yang cukup kuat pada
hampir seluruh aspek kehidupan dikalangan masyarakat muslim pedesaan” [3].
Kuatnya pengaruh tersebut membuat setiap pengembangan pemikiran dan
interpretasi keagamaan yang berasal dari luar elit pesantren tidak akan
memiliki dampak signifikansi terhadap way of life dan sikap masyarakat islam di daerah pedesaan.
Karena hal ini tidak bisa lepas dari keterlibatannya pesantren.
Pesantren dalam dunia sosial lebih
memilih bentuk aksi apresiasi konkrit sebagai lembaga keagamaan, dan sebagai
pendidikan yang sarat dengan nuansa transformatif sosial, berikhtiar dan
mengabdi pada masyarakat. Sehingga kemudian tidak heran lagi bila sebuah
ketertarikan dari masyarakat untuk pesatren sangat tinggi.
Namun demikian, suatu perubahan
dinamika sosial yang bisa kita sebut sebagai dampak globalisasi yang akan mengancam
keberadaan pesantren dalam tradisi yang sudah tertanam mulai sejak berdirinya.
Ancaman disini bisa menghilangkan dari minatnya santri untuk mendalami ilmu
agama dengan latar akibat masuknya pengetahuan baru. Bahkan pemikiran
liberalpun sekarang sudah mulai masuk dan tak ayal bila terkadang kita
menemukan sebagian santri yang berpikiran aneh dan radikal.
Namun ternyata kekhawatiran kita
malah terpojok dibawah dampak globalisasi. Pesantren disini terhadap datangnya
ancaman ternyata bukan justru menolak dan menghindar, malah dampak tersebut
dijadikan sebuah katalisator khusus bagi para santri kedepan bagaimana
menyikapi keadaan yang baru. Sehingga kemudian kebiasaan lama pesantren tidak
hilang ketika mencoba memahami datangnya sesuatu yang baru. Sehingga kemudian
sikap pesantren terhadap dinamika kehidupan dikenal dengan semboyan al-muhaafadzatu
‘ala al qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-ashlah.
Zamakhsyari Dhofir juga pernah menyatakan bahwa pada dekade
akhir-akhir ini, karir pesantren sedang mengalami perubahan-perubahan yang
fundamental dan juga telah ikut memegang peranan dalam proses transformasi
kehidupan modern di indonesia. Ilmuan lain Kuntowijoyo juga mengatakan bahwa
pesantren saat ini telah mengalami perkembangan yang berarti, bahkan dengan
cara yang makin menyangkal definisinya sendiri.
Sehingga kemudian Abdurrahman Wahid menyebut pesantren sebagai
sebuah subkultur yang memiliki kaunikan dan perbedaan cara hidup dari umumnya
masyarakat Indonesia.[4] Dan semboyan pesantren islam rahmatan li al
‘alamin menunjukkan keberanian untuk menghadapi dinamika yang terjadi dalam
masyarakat. Pesantren sebagai sebuah sub-kultur justru berada pada posisi yang
terbuka terhadap perubahan.
Inilah bentuk kehidupan pesantren di dunia agamisnya terhadap
masyarakat Indonesia. Pengabdiannya sangat bernilai dan santrinya menjadi
penuntun meminjam bahasanya Ahmad Baso pada dekadensi masyarakat terhadap
pengetahuan keagamaan sekarang: sedikitnya orang-orang yang tahu akan ilmu
keagamaan, utamanya kitab kuning, yang banyak menyinggung masalah moral, etika
dan tauhid.[5]
Oleh karena itu Pesantren disini menjadi sangat sarat dengan
masyarakat, pertama didudukung karena memang cirinya sebagai lembaga keagamaan
masih mempuyai dampak signifikan dimata masyarakat. Sindu Galba Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi menyatakan bahwa warga pesantren telah dianggap oleh warga
masyarakat sebagai orang-orang yang mampu untuk ditanyai mengenai masalah
pengetahuan agama, sehingga setelah yakin akan kemampuan warga pesantren
masyarakat tidak ragu lagi untuk menitipkan anak-anaknya kepesantren.
Mengetahui adanya kultur dan sistem yang di implementasikan
pesantren, sepanjang masa masih belum ada klaim mengenai kelas-kelas pesantren,
yang terpenting bagi pesantrena adalah bagaimana mencipatakan sebuah
kepercayaan kepada semua masarakat.
Alangkah baiknya bila sebuah kebiasaan santri dipesantren menjadi
kebiasaan mahasiswa UINSA. Kebiasaan tanpa melihat status materi dan teman,
kebersamaan dan adanya program asrama tetap untuk mengembangkan keilmuan
mahasiswa dalam bersaing dengan dunia internasional beserta ilmu umumnya. Maka
mahasiswa UINSA secara pasti menjadi satu-satunya mahasiswa compilte dalam
pentas ideologi.
Dari Pesantren
Untuk UINSA, Dari UINSA Untuk Pesantren
Setelah
membahas tentang kehidupan mahasiswa UINSA dan pesantren penulis akan
membagikan beberapa persaman dari keduanya yang apabila keduanya saling
terterapkan kemungkinan akan menjadi suatu hal yang besar, dan barangkali
menjadi jalan untuk UINSA menuju kampus yang berkelas Internasional. Dengan
demikian menuju kampus internasioanal maka menurut penulis hendaknya kedua-dua
hal tersebut harus sebagai berikut.
UINSA dan pesantren adalah dua
institusi yang kebetulan sangat mirip sekali dalam berorientasi pada dunia
keilmuan. Dimana orientasi menujunya dibarengi dengan sebuah perbedaan murid
baik itu dari daerah, keilmuan dan kebiasaannya. Pesantren sebagaimana penulis
bahas di depan dengan sikapnya membuatnya tidak dapat diklaim dengan
sembarangan dan sumbangan keilmuannya sangat besar pada bangsa ini.
Maka setelah itu UINSA sebagai
Institusi yang memiliki kemiripan dengan pesantren meskipun tidak pernah
disadari hendaknya baik itu mahasiswa
atau dosen bisa memiliki sikap kebersamaan tanpa sebuah pemahaman menilai
apakah orang disekitar kita pantas menjadi seorang teman. Sebab realitas
kehidupan UINSA menjadi seorang teman membutuhkan seleksi terlebih dahulu.
Seleksi dari materinya, keilmuannya atau bahkan menjadi sahabatnya.
Dan demikian juga kampus ini
seharusnya memiliki sebuah asrama khusus bagi mahasiswa yang fokus dalam suatu
keilmuan. Sebab hal itu sangat mendukung sekali kepada mahasiswa ketika dari
sebagian mahasiswa mempunyai minat yang tinggi. Mungkin jurusan memang dapat
dikatakan sebagai orientasi yang fokusnya pada suatu bidang, namun faktanya
disini jurusan hanya menjadi persimpangan mahasiswa untuk menerima nilai tanpa
sebuah pendalaman.
HMJ meskipun telah menghimpun
mahasiswa perjurusan untuk mendalami sebuah jurusan yang diambil, tapi tetap
tidak bisa memberikan sumbangsih besar kepada UINSA apabila kebersamaan masih
jauh dari harapan. Dan hal itu benar sekali, sebab jarang sekali mahasiswa
tidak mengahdiri kajian khusus yang diadakan oleh HMJ ini, lalu kemudian apa
yang akan menjadikan UINSA ini menjadi kampus yang berkelas internasional. Oleh
karena demikian sitem kebersamaan yang dimiliki pesantren harus benar-benar
ditanam, supaya cita-cita prodi mahasiswa untuk kebaikan baik itu mahasiswa dan
kampus bisa tercapai dengan baik.
Untuk mencapai kampus yang berkelas
internasional, kampus tidak hanya dominan dalam ilmu umumnya, melainkan juga
ilmu agamanya. Ilmu keagamaan seakan-akan salah satu penopang kita untuk mencapai apa yang kita inginkan.
Dalam ilmu agama ketika kita berbicara akhlaq maka disini akan menjadi pandangan
masyarakat, sehingga kemudian akan tercipta yang namanya sebuah kepercayaan.
Secara garis besar, kebutuhan
sebenarnya kampus ini hanyalah menciptakan sebuah kepercayaan pada setiap
orang. Karena kepercayaan disini sangkut pautnya dengan masyarakat. Sebab tidak
mungkin masyarakat akan menyekolahkan anaknya pada sebuah kampus yang
dipercayai sebelumnya tanpa sebuah kepercayaan. Contoh misal kampus ini
sebelumnya telah dikenal sebagai kampus yang masih abstrak jaminannya, maka
kemudian yang akan terjadi sebuah minat masyarakat hilang karena sebuah kepercayaan
sudah hilang ditelan sikap kampus tersebut.
Oleh karena demikian, disela-sela
kampus UINSA berusaha menciptakan kampus yang bertaraf internasional dengan
segala cara yang dilakukan, namun satu hal yang tidak boleh dilupakan ialah
mempertahankan yang namanya kepercayaan. Apabila sebuah kepercayaan telah
tertanam pada setiap masyarakat maka cita-cita menjadi kampus yang berkelas
tinggi juga dapat dipastikan.
Kita sebagai mahasiswa tidak boleh
lupa walaupun kita kritis sehingga kita bisa melakukan segalanya, seperti Tuhan
Membusuk yang dijadikan tema OSSCAR tapi kita harus bisa menjaga kepercayaan
masyarakat sebagaimana pesantren menjaga kepercayaanya dari masyarakatnya.
Menciptakan kultur pesantren di
kampus UINSA sangat cocok sekali, karena tridarma perguruan tinggi akan semakin
lengkap dan terpenuhi. Menjadi orang yang mengabdi dengan sebuah keilmuan yang
mapan, dan menjadi pengajar juga sangat tepat karena mahasiswanya lahir dari
rahim UINSA yang memiliki kepercayaan dari masyarkat, serta penelitian disini
juga akan melengkapi kebutuhan mahasiswa menjadi mahasiswa yang benar-benar
berintelektual.
Penulis sebagai mahasiswa UINSA sendiri
menyadari bahwa sebenarnya kampus UINSA ini memiliki kemiripan dengan
pesantren, namun hanya saja bentuk orientasinya masih berbeda. Perbedaan
tersebut barangkali yang memubuat kampus ini tidak mencapai taraf kelas
internasional. Sumbangan paduan suara yang pernah meraih mendali emas di
Singapura sebanarnya bukan dalih menuju kampus berkelas, kecuali kampus ini
memang benar-benar bisa menciptakan keilmuan agama dan umum yang kuat beserta
menaruh kepercayaan pada hati masyarakat.
Catatan Akhir
Karya tulis ini sebenarnya bertujuan
untuk mengekspresikan mengenai apa yang penulis sadari bahwa sebenarnya UINSA
bisa mencai kampus yang word class university. Sebab setelah
penulis menemukan sebuah kemiripan pada kampus ini dengan pesantren, penulis
langsung berfikir andai kampus ini mempunyai orientasi beserta kultur seperti
di pesantren maka tak bisa membayangkan sekelas apakah kampus ini. Tapi yang
pasti kepercayaan akan menjadi hal yang paling besar dari masyarakat dan menuju
kampus yang bertaraf internasional sudah pasti bisa.
Oleh karenanya, tulisan ini adalah
peran penulis sebagai mahasiswa UINSA untuk menuju kampus yang bertaraf
internasional. Semoga tulisan ini bukan hanya menjadi tulisan yang diseleksi
melainkan juga bisa menjadi pembaruan terhadap kampus tercinta ini. Sekian
terimakasih.
Penulis
adalah Pengurus UKPI UINSA dan mahasiswa Bidikmisi’15
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd.
2006. Pembaruan Pesantren, cetakan pertama, Yogyakarta: LkiS.
Galba, Sindu.
1995. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Cetakan Kedua, Jakarta: PT
RINEKA CIPTA
Magnis Suseno, Franz. 1991. Berfilsafat Dari
Konteks, Jakarta: Gramedia.
[1] Franz Magnis Suseno, Berfilsafat Dari
Konteks (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm, 11
[4] Abdurrahman Wahid, pergulatan negara,
agama, dan kebudayaan (Desantara:
jakarta, 2001), hlm. 133.
[5] Ahmad Baso dalam makalah NU Studies
Vis-A-Vis Islamic Studies: Persektif dan Metodologi dari, oleh dan Untuk Islam
Indonesia
0 Comentarios