Peristiwa 20 Juli di Geresik
20 juli lalu saya pergi ke
kota Gersik, kota kelahiran teman seperjuangan yang pernah dipertemukan di
kampung inggris Pare Kediri. Selain bersilaturahmi dan mengenal ihwal kehidupan
di sana saya juga mencari tempat-tempat eksotis, dari barat ke timur dari utara
ke selatan saya urut satu persatu. Ternyata yang membuat saya terkesan ialah
banyaknya tempat kopi. Berarti kopi selama ini
tetap selalu menjadi pengantar hidup banyak orang. Kedai-kedai kopi di
pinggir-pinggir jalan hampir semuanya terpasang wifi, karena wifi selain mempunyai
nilai ekonomis juga mempunyai daya eksotis yang besar. Sehingga kedai-kedai
kopi sekarang telah menjadi tempat tumpang sosial lewat Facebook, BBM, WA dan
Youtobe secara gratis. Berada di Gersik yang dipenuhi dengan kedai-kedai kopi
jadi teringat kehidupan mahasiswa dimana kedai kopi adalah salah satu tempat
paling istimewa.
Selain itu warung kopi dalam
sejarah realitasnya telah banyak merubah kehidupan mahasiswa ke lebih realis,
logis dan tidak cenderung menerima. Mahasiswa
sejak dulu dikenal sebagai murid ekstrem, intelektualis dan ilmiah karena
memang kehidupannya lebih banyak bersama buku-buku dan berdiskusi. Selama
proses ngopi di kedai-kedai pinggiran jiwa mereka semakin berkembang, lalu
dirinya terkadang sombong ada sebagian semakin lebih merendah. Semua hal itu
telah mempengaruhi pola pikir kehediupan mereka. Inilah mahasiswa. Sangat
berbeda sekali ketimbang sejak masih SMA yang masih polos.
Mengenal mahasiswa bukan
hanya menilik perilaku dan penampilannya saja, tapi yang lebih penting adalah
pola pikir dan cara bicaranya. Sekarang penampilan tidak bisa dijadikan untuk
mengenal diri seseorang lebih jauh, baju hanya untuk nilai yang dhohir.
Sementara pribadi yang sebenarnya adalah jiwanya. Jadi tak mungkn hanya sekedar
melihat penampilan.
Salah satu yang mungkin
lebih cocok untuk mengenal pribadi yang mahasiswa ialah dengan model
pemikirannya yang filosofis, terkadang sesekali disebut filsuf. Karena memang
pribadinya sudah dipenuhi banyak bahan mentah dan terkadang kekirian dan
kekananan, kemudian ditinjau dengan banyak bahan untuk mengembangkan apa yang
telah mereka terima
Perbedaannya dengan agama
ialah dalam menerima suatu kebenaran tidak cenderung anut, dengan kata lain
tidak tunduk pada agama sebelum hal itu rasional. Karena saya Mahasiswa, maka
peristiwa 20 Juli akan saya jadikan ulasan mengapa kebaikan dan kejelekan itu
relatif di hadapan seseorang. Perbandingan
tentang persoalan masyarakat desa dan kota. Sejak itu di kedai kopi saya
bersama teman menguploud foto sejak pengabdian di Tulungagung. Pose saya
ditarik dari kaca mata syari’at (mata desa) memang terjangkau salah;
menggonjeng dua perempuan ke masjid untuk mengajar. Foto yang saya uploud yang
diiringi beberapa kalimat itu telah membuat keluarga di Desa saya menjadi riuh, kacau, saya kemana-kemana
dibawa dengan sebuah fault judgement.
Sebuah keputusan murni dari kitab-kitab dan cemderung ekstrem
Menurut pendapat K. Bertens
sebuah pemikiran filosfis dalam melihat baik dan buruk dengan menimbang alasan
yang rasional. Jika itu buruk dalam agama di sisi lain ada sebuah alasan yang
sangat rasional sebagai pertanggungajawaban terhadap apa yang dilakukan maka
itu termasuk baik. Niat saya mengantar teman perempuan tujuannya baik. Tugas
dalam puasa dan perjalanan ke masjid tentu sangat melelahkan. Tapi saya faham
kalau saya sedang berada dalam posisi
yang sangat berbeda dengan kehidupan saya di kota. Ada gelombang tak
beraturan yang harus dihadapi secara halus.
Namun perilaku semacam ini
tidak bisa dibawa pada masayarakat yang berada dilingkungan tertutup yang tak
mengenal budaya luar. Dari segi pemikiran K. Bertentes orang-orang dalam
masyarakat itu tidak berpikir jauh, menerima norma dan nilai secara langsung. Gonjengan
dengan bukan muhrim tidak diperbolehkan, apabila kita misalnya menampilkan
perilaku demikian akan segera dipastikan
menerima keputusan yang justru berbeda dari kita. Walaupun pada dasarnya
kita bertindak bersama alasan pasti dan tidak asal-asalan. Tapi etika selamanya
tetap berlaku sepanjang panjangnya alasan. Karena alasan menyertai seorang
dalam keadaan pantas dari segi jiwa dan akal bukan agama. Dan Sikap mereka telah tunduk pada norma
agama tanpa suatu petimbangan apapun
Sebenarnya antara baik buruk
semuanya tetap berada pada manusianya sendiri; berada bagaimana cara menentukan
kategori baik dan buruk. Tapi agama juga menentukan baik dan buruk, berbicara
tentang moralitas seperti kata K. Bertens,
bukan merupakan monopoli orang beragama. Baik dan buruk tidak mempunyai arti
untuk orang beragama saja. Di sini jelas sekali kalau ada selain agama yang
turut menentukan baik dan buruk.
Norma menggonjeng perempuan
yang berada di pedesaan sangat wajar
tidak diperbolehkan. Sebab liku kehidupan masyarakat pedesaan belum
ditumbuhi budaya yang tak diduga bisa membuat mereka akan memberikan kelegalan
padanya. Budaya liku masyarakat tradisional pada umumnya adalah budaya turunan
dari pendahulu yang sangat keras mengambil budaya yang betentangan dengan
agama.
Memang persoalan demikian,
anatara norma tradisional dengan norma moderen tidak akan pernah selesai.
Karena persoalaan ini menyangkut dengan etika atau perilaku hidup yang tidak
pernah mati mulai sejak dulu yang dibenturkan dengan budaya asing. Budaya yang
cenderung menimbulkan sikap yang tidak sewajarnya tapi terkadang juga tak elak
untuk menghindarinya sehingga acuh tak acuh harus menyikapinya dengan baik.
Jalan satu-satunya untuk
memperoleh kesepakatan bersama ialah mengambil sarana rasio dan agama. Dengan
cara komparasi demikian baik dan buruk tidak akan menjadi persoalan perdebatan
lagi.
0 Comentarios