Serrrrrrrrr. Suara hembusan angin di sepertiga malam kembali
menyunyikan semua kamar santri. Sarung disulap rentan jadi selimut untuk
menutupi tubuh-tubuh runcing dari hantaman angin yang begitu menyeruak ke dalam
kamar-kamar tanpa pintu. Tempat orang-orang yang lebih menderita dari pengemis
jalanan. Dikurung. Dipaksa belajar dan mengabdi pada pesantren. Serta tempat
yang tak pasti akan memberi harapan pada kita, termasuk aku ini.
Kudengar seperti itu. Tapi kata orang-orang tempat yang
kudiami ini menyimpan banyak berkah. Apabila santri berhasil mendapatkan itu,
katanya berkah itu akan menyulap hidupnya seperti kebun di Surga, semua isi
hati manusia akan terkabulkan. Hanya untuk orang yang beruntung saja. Maka
semua santri di penjara sunci ini dipaksa berdongeng tentang apa saja yang ada
sangkut paut dengan ketaatan kepada Kiai dan Nyai.
Desis-desis angin semakin cepat. Tarian pepohonan di
halaman semakin elok. Membuat bulu kuduk berdiri, riang ketakutan. Semakin aku paksa
mata tuk tidur, maka semakin nyaring suara bisik-bisik dedaunan yang berkasak-kasak
di halaman bersama sepoi-sepoi angin mengajak. Suaranya tersesak-sesak.
Teringat pada ibu ketika digandrungi sesak nafas, di mana mata sulit terpejam,
di semak-semak tak tahu seperti ada sesuatu yang mengepak jantungku.
Yang membuat aku jatuh cinta pada ibu, ketika aku disuruh
untuk menyayangi lencak[1] tuah di kamar
sebelah bersama ayah. Lencak yang tak
pernah aku injak lantaran kasih sayangku sudah terlanjur paten[2]
ikatannya, seperti tali terikat pada dua kayu dengan begitu kuat. Betapa
pedulinya sang ibu, kerinduannya dan kasih sayangnya selalu ada di
saat anak tak
mampu berungkap kata-kata bijak.
***
Jam 3.30 mataku bermekaran dan benih-benih kebahagian
rontok di langit petang. Rembulan di atasku matanya masih selebar mata adekku
Vira di rumah, desis-desis gesekan dedaunan bikin diri geli tuk melemparkan
batu. Tanpa kendali, kedua tanganku mengusap bekas-bekas kue malam di pinggiran
dan sudut mata, lalu kuselipkan tangan ke dalam sarung dan mencopotnya dengan
senang hati. Sudah biasa, tradisi pondok tentang al-nadhafatu min al-iman itu yang penting semuanya suci walau
terlalu agak ceroboh dan pakai-pakaian seperti bermanik-manik coklat bila
dipandangnya. Kemeja baju; sebagai tisu. Sarung; sebagai siwak, jadi tak
adalagi persolan iman, yang lebih penting adalah kesucian dari yang kita pakai.
Tiba-tiba memoriku kembali bercurhat dengan jiwaku,
tentang lelaki putih di kamar al-lughah.
Wajahnya tersihir rembulan di kedalaman gelapnya mata. Surbannya yang berkalung
di lehernya menari-nari seperti penari balet di depan mataku. Hatiku semakin
curiga, lelaki itu sekarang lagi di masjid shalat Tahajjud. Dalam hatiku memang
kayaknya karena ibadahnya aku sampai teringat wajah rembulan yang tak pernah
terpejam di malam hari. Lalu entah kenapa setelah mendengar suara jejak kaki
dengan sandal jepit aku semakin curiga kalau itu adalah dia. Badan yang begitu
pas wah.. terlalu sempurna di mataku, bodinya dari belakang seperti aku melihat
dia dari depan. Siapa yang tak mengenal dia. Seperti kebiasaanku menebak muka
para artis di film sinetron. Cara berjalannya pun aku tahu. Jadi aku yakin
suara itu adalah Zainurrahman. Orang yang akhir-akhir ini sangat aku kagumi.
Tersentaklah. Naik darahlah. Tercerahlah hingga semua
tubuhku sudah tak lagi merasakan lesuh untuk bangun di tengah malam, dan
sepertinya hanya kali ini aku bangun malam. Ya sudahlah mungkin hari ini aku
kebagian berkah yang pernah di suarakan orang di warung-warung dan di semua
tempat ketika lagi asyik ngobrol tentang pesantren.
Mataku mengembang, teman-teman di sebalah kiri dan kananku
terlihat masih tergeletak seperti ikan pindang besar di pasaran Ganding. Ada
temanku yang bikin muak aja, sebab ngoroknya terlalu nyaring. Ada beberapa temanku
namanya Zulal dan Zaki, setiap mereka tidur mulutnya berubah lembah subur di
tahun 1945, baunya terlalu menyerbak hingga terpaksa harus menutup hidung.
Hemm. Membangunkannya takut disangka “tumben” bangun malam, karena biasanya
kalau gak ada yang bangunin sampek siang mataku tetap merem.
***
Aku berjalan bersama beberapa arti di dada, mengiringi
jejak setiap langkahku ke masjid. Pertama melihat tubuh dambaanku; Zen
(Zainurrahman), kedua ingin bercumbu ria lagi, ingin menengada pada Tuhan
semoga hidupku selalu beruntung. Tapi entah kenapa di kala menuju Masjid, di
bawah pohon kelapa dan di sampingnya lagi ada tiang lampu cahanya terpancar
setengah ria ke depan masjid, sementara aku dengan mata yang masih muram
melihat sandal jepit putih berukir tulisan Lord
yang artinya tuan. Semakin kakiku melangkah semakin jalas tulisan itu.
Sandal yang terukir Lord adalah
sandal yang biasa dipakai oleh Zen.
Tiga deretan tangga menuju pemilik sandal the lord aku jejaki, dari jendela dengan
kaca putih tapi gelap karena gelapnya dunia dan beberapa sinar lampu kuning di
depan dan pojok masjid yang sengaja dihidupkan aku melihat seorang terpungkur,
kelihatan lesuh dengan hidupnya. Kedua tangannya disucikan al-qur’an dan kedua
bibirnya yang elok melantunkan lafadz Tuhan; dirinya seperti menari-nari di
atas kalimat kitab mulya itu.
Tiba-tiba sesorang dari belakang dengan tangan kanannya
menggepak pundakku “hey man, kau lagi apa? Kenapa ngintip orang lagi baca al-qur’an,
kayak gak pernah lihat orang lagi baca al-qur’an saja kau” sebelum memutar
kepala, dari suaranya yang kesidoarjoan aku sudah mengenalnya, pasti tidak
salah lagi Rijal, anak Sidoarjo dan kebetulan sekamar denganku di BPBA English.
“eh kamu ya, ini aku lagi lihat orang yang lagi baca kalimat Allah. Sumpah aku
kagum padanya, jam segini orang itu sudah bangun baca al-qur’an. Tapi orang itu
siapa ya?” aku tertawa dalam batin rahasia, semoga dengan sikapku ini rijal gak
curiga kalau aku lagi ngintip Zen, lelaki cantik, anggun dan shalihah. Aku dan
Rijl masuk ke ruangan yang hanya diterangi dengan beberapa lampu dan aku
menempati tempat al-qur’an bagian belakang sebelah kanan, sedangkan Rijal
paling depan sudah siap-siap untuk shalat.
***
Pagi sudah datang mengagantikan momen tadi malam, tapi
tak semuanya hilang. Di selatan masjid asap-asap mengepul sebagai tanda ada
keributan. Dari Timur, Selatan dan Utara semua santri mebawa sebuah kotak ke
dapur dengan beras di plastik di jinjing erat demi mengisi perutnya. Aku dan
sepupuku Ipung di pagi hari memang sudah biasa mencari udara segar, dan
sekalian cari teman untuk ngobrol. Tempat itu di selatan masjid dekat dapur.
Aku bersama teman-teman duduk di tangga masjid sambil ngobrol dan sebagian ada
yang menunggu matangnya nasi.
Para santri mondar-mandir kesana kemari. Dari jalan
selatan di depan pintu kamar mandi
menuju gerbang pengisian perut, dia memunculkan wajahnya secepat pertir,
muncul lalu hilang dengan cepat, mengintip curiga kalau di dapur ada banyak
orang. Mataku juga diajak curiga kenapa orang itu main intip segala, kenapa
tidak langsung ke dapur masak bareng-bareng bersama kumpulan terbuang.
Sedangkan temanku Ipung meraba-raba mataku yang melotot, walau dengan kata
“hey” aku tetap tidak sadar mataku terus melotot ke depan. Tapi pada akhirnya
sepupuku tahu kalau aku sedang melihat Zainurrahman sebagai moyek[3] cantik di pondok.
Tak heran bila rahasia intipannya sejak itu karena dia takut pada temannya yang
suka.
***
Hari demi hari, bulan demi bulan, hati semakin saja
memuncak seperti ada kidung cinta kepada Zainurrahman. Firasatku kepadanya
seperti firasat sosok ibu kepada anaknya, setiap aku merasa kehadirannya itu
bukan hanya hayalan saja tapi fakta yang bagiku dosa bila dipungkiri.
Di malam hari aku menceritakan tentang perasaanku kepada
Ipung karena dia teman terdekatku dan juga teman kelas Zen. Aku bercurhat
karena sudah tak tahan merasakan ini. Cinta yang kurasakan seperti aku ingin
menjaganya setiap saat. Perasaanku telah mengkhawatirkan kepada sosok yang
bukan keluargaku, yang seharusnya tak perlu dikhawatirkan. Tapi dari
kenyataannya aku benar-benar tidak bisa menolaknya. Cintaku merubah segalanya.
Pernah suatu ketika aku mendengar kalau Zen pernah merokok di kamar mandi
bersama Fikri teman sekamarnya. Waktu itu aku langsung mencari kebenaran cerita
itu, aku kembali menapaki jalan kamar setiap blok yang mungkin adalah jejak
pertamaku, tapi aku tidak mendapatkannya. Aku takut karena rokok yang aku tahu
salah satu penyebab terkendalinya seseorang menjadi kerbau nakal, sering
melanggar aturan dan mempunyai hati keras, tak bisa diajak untuk kebaikan. Ya
begitulah rokok yang kukenal setiap harinya di pondok Annuqayah.
“pung, kamu mau gak mendengar ceritaku”?
“boleh saja, tapi cerita apa ya...?” Ipung mengangkat
dagunya, mulutnya begitu rapat dan di akhiri senyuman. Perasaanku dia sudah
dapat memprediksi apa yang akan aku ceritakan.
“kamu selama mondok pernah kecantol cinta? Aku berbicara
langsung di depan mukanya,tapi tiba-tiba Ipung tersentak, seperti lagi terkejut
dan heran. Matanya tak berkedip selama ribuan menit. Suasana jadi bisu. Akupun
juga ikut terdiam seribu bahasa, melihat ekspresi wajahnya yang kusam tak
bermandikan air selama tiga hari.
Tapi setelah Ipung menjawab pertanyaanku, dia sepertinya
masih belum waktunya tahu tentang cinta sesama jenis, budaya Pesantren yang
sudah membuatku jatuh dalam samudra budayanya. Ya wajar santri yang baru
berumuran jagung tak tahu tentang hal ini, bahkan bisa saja ngotot tak
mempercayainya. Tapi lubuk terdalam hatiku tetap ingin curhat dengannya, karena
dia adalah satu-satunya teman sekelas dengan Zen yang aku kenal, tidak ada yang
lain. Dari ini mungkin firasaku ada jalan menjeputnya.
Dua Pucuk Surat untuk
My Lord
Setelah banyak tukaran kata dan jalan, aku dan Ipung
berakhir dengan suku kata biasa tapi tak akan pernah usang di telinga. “surat”, ya kata itulah kata yang
mengakhiri waktu kami bercurhat, berakhir di jam 8.15 tapat hari Ahad di
serambi masjid bagian selatan. Tempat aku biasanya tukar gagasan dengan
teman-teman.
Rembulan dan gemintang terlihat menghiasi malam, indah
sekali. Keindahannya menaburkan kebahagian kepada manusia. Aku bersama Ipung
duduk dengan kebahagian penuh ceria, merangkai kata-kata di sebuah kertas
putih, kosong harapan, lalu kami mengisinyi dengan berbagai harapan dan tatapan
penuh semangat, mencari kata-kata bijak terindah sepanjang usia. Penaku seperti
pena ajaib bin muhal, seperti menuntun tanganku menari di atas ombak dan tak
tahu tanda bahaya apa dari sepucuk surat yang kutulis ni.
Kepada pemilik sandal The Lord
“Hati tak bertepi untuk
dijangkau ketika terisi namamu. Tangan dan pena adalah salah satu alat ukur
jarak namamu, tapi hasilnya menunjukkan kalau namamu memang benar-benar tak
bertepi. Usiaku baru kali ini menemui seluas nama yang tak bisa kujangkau
sepanjang usiaku. Usiaku yang melibihimu sungguh jauh darimu yang semudah ini.
Aku sempat mengira namamu tak akan pernah kujangkau.
Kemarin malam aku bertawasul
bersama teman di sepanjang tangga masjid, mencari jalan untuk bertepi, lalu
berakhir dengan sebuah kata surat. Dan surat inilah aku terbangkan lewat angin
semoga saja penuh sahabat dan tak salah tujuan.
Dalam surat ini aku akan memberi tahu bahwa penulis saat ini
sedang gila. Tingkah lakunya bisa dibilang tak karuan, mungkin kalau kamu
melihatku akan mengernyitkan kepala, sungguh malang orang sepertiku ini. Tapi
segila-gilaku aku tak pernah kagum pada seseorang sampai melebihi kekaguman
pada usiaku yang sudah mencapai 20 tahun. Orang itu adalah kamu. Surat ini akan
aku akhiri dengan kata bolehkah aku menjagamu sepanjang usiaku di Pesantren
ini?”
By. Si gila
Surat malang yang penuh harapan dan kegilaan aku asingkan
dari tanganku lewat Ipung untuk disampaikan kepada pemilik sandal The Lord. Sebab surat itu tidak bisa
lama-lama berada di tanganku, surat itu bisa menjadi bumerang bagi diriku
sendiri bila jatuh pada tangan politikus the
lord.
***
Jam 09.00 aku bangun dari peristirahatan lalu keluar
ternyata hari sudah semakin siang. Tidur yang begitu nikmat, banyak mimpi indah
terlewatkan dari pikiran. Aku duduk di depan teras asramaku sambil menyegarkan
mata kembali segar. Sedangkan teman-teman yang lewat ada yang bilang kalau aku
rajanya tidur pagi. Satu lagi temanku namanya Khalilullah yang tak
henti-hentinya berdebat denganku, memprotes atas klaimku waktu berdiskusi lalu;
tidur pagi tidak baik dan rizki kita dipatok ayam. Aku hanya bisa nunduk
menyadari atas omonganku waktu lalu. Tapi sebenarnya aku tidur pagi karena
malamnya aku belajar menulis.
“Cong, lihat lihat lihat tuh siapa yang dari utara?”
Mendengar suara Khalil aku sempat heran ada apa di utara.
Lalu kemudian aku coba menoleh ternyata dia, lelaki
istimewa di hati. Aku sedikit jongkok dan menggeser tubuh lebih keluar dari
teras asrama, begitu besar keinginanku memeluknya. Aku merasakan kehangatannya.
“iya boz, cantik dan elok kan?
Khalil langsung menepuk pundakku “jangan mimpi, zen gak
bakalan bisa kamu dapatkan. Harus kamu tahu ya ri, cinta itu butuh pengorbanan.
Sedangkan kamu? Mana pegnorbananmu buat Zen?
Memang aku gak punya sedikit pengorbanan buat Zen. Tapi
bagiku pengorbanan yang biasa dilakukan oleh para santri kepada moyek seperti memberi makan, sering
dikasik hadiah itu bukanlah pengorbanan. Pengorbanan bagi seseorang yang kita
cintai itu adalah menjaganya agar tidak jatuh dalam budaya santri preman. Coba
pikir panjang-panjang. Setelah dikasik hadiah, makanan dan segala macamnya
diajari melanggar, pemberian contohnya pun asal sembarangan dan pastinya tidak
cocok bagi Pesantren. Tapi aku juga menyadari atas perkataan Khalil, aku tidak
berkorban seperti yang lain karena kondisi ekonomiku tidak menjangkaunya.
Ipung dari utara sudah datang. Aku melihat ekspresi
kesuksesannya sangat bahagia. Pasti surat itu dibaca oleh Zen. Oh Tuhan tolong
berkatilah aku, kabulkan do’aku.
“ri,,,.” Dia memanggilku dengan senyuman hangat. Matanya
terlukis wajah Zen. Seperti ada tanda kalau suratku telah diterima dengan baik.
“surat kamu sudah aku sampaikan”senyuman Ipung semakin
membuatku percaya pada firasatku.
“surat kamu keseluruhan sudah dibaca sama Zen. Tapi...”
Ipung berhenti sejenak. Senyuman itu hilang sia-sia, melihat matanya ada aliran
kesedihan yang tertahan di bulu-bulu kelopak matanya. Aku menjadi semakin
penasaran, apa yang diesembunyikan oleh Ipung.
“tapi apa pung?” aku balik nanya, tapi dia malah tambah
diam seribu bahasa.
“ada apa? Ada apa?” aku menepuk pundaknya halus mencari
rahasia dalam matanya.
“tapi,,, suratmu setelah diabaca disobek oleh Zen. Ini
aku simpan sisa sobekan itu di buku” Ipung membuka rahasia yang sudah tua 20
menit yang lalu.
Cintaku sudah menghilangkan akal pikiranku. Bagaimana
bisa memberi surat cinta kepada yang sejenis. Tapi aku sama sekali tidak
menyadari akan hal itu. Teman-teman yang tahu akan hal ini semuanya
menertawaiku. Ada yang bilang aku sudah gila beneran. Ada juga yang bilang
kalau caraku (surat) sudah kuno, sudah tak baik digunakan hari ini, lebih baik
menyatakan langsung kepada orangnya.
***
Kelihatannya dari seluk-beluk jalanan, dari pepohonan
yang kompak menari bersama angin, aku merasakan malam anugerah. Hatiku menggali
sesuatu dan mendapatkan semangat baru, malam ini aku tidak boleh menyerah aku
harus mencobanya sekali lagi.
Kutulis kembali sesuatu yang sama dengan surat pertama.
Aku menyatakan isi kemurnian hati dan menulis dengan penuh harapan. Tapi
bedanya, kalau surat pertama tidak diakhiri dengan lafadh lahaula, kalau suratku yang baru kutulis aku akhiri dengan lafadh lahaula walaquwwata illa billah “tidak
ada kekuatan selain dari Allah”, aku percaya itu bahwa kesuksesan dibalik
keinginan manusia ada campur tangan manusia.
Tapi sayang atau mungkin Tuhan memang tidak
menghendakiku, dan memang LGBT itu dilarang oleh agama. Seperti kaum sadum dahulu
yang dilaknat oleh Allah sebab telah melaukan hubungan dengan sejenis. Kabar
yang kudapat dari Ipung, orang yang mengantarkan surat kepada Zen, surat itu
tidak disobek tapi langsung dibawa lari entah kemana. Tapi setelah mendengar
kabar itu aku.....
“ri, suratmu dibawa lari sama Zen entah kemana. Padahal aku
sudah berusaha menahannya, yang lebih miris lagi dia tidak membacanya” nafasnya
naik turun, jantungnya terdengar seperti sedang mendegup secangkir kopi hangat
di pagi hari, Ipung tergesa-gesa datang kepadaku.
Dan memang sebelum kabar itu mengkambuhkan jantungku, aku
sudah melihat Zen memberikan sebuah kertas kepada teman sekelasku di MAT
namanya juga Ipung nama panjangnya sama Saiful Bahri. Bedanya kalau Ipung yang
menjadi post untukku tinggal di asrama Bahasa Inggris, sementara Ipung yang
sekelas denganku tinggal di asrama Bahasa Arab, hampir bergandengan seandainya
kantor pesantren tidak menengahinya. Tapi aku tidak tahu entah kertas apa yang
diterima Ipung.
***
Hari sabtu kebetulan ada tes masuk kampus di pesantren.
Aku bersama teman-teman seangkatan yang
masih betah di Annuqayah, pondok semesta kenangan dan pengetahuan pergi ke
kampus INSTIKA bersama. Berjalan menyusri lorong-lorong perjuangan, banyak
santri berpapasan dengan kami tapi entah ada tujuan apa. Di jalan di depan
Mushalla Late tiba-tiba Ipung mengeluarkan secarik kertas kepada kita, kami
semua yang sama-sama bepergian ke kampus tidak mengerti maksud pemberian itu.
“rek, tadi aku menerima surat dari Zen, katanya surat itu
dari seseorang lewat tangan Ipung BPBA E.[4]
Tapi anehnya surat ini tanpa nama tapi intinya dia menyatakan cinta kepada Zen”
ucap Ipung kepada kita waktu menunjukkan suratnya.
Aku sebagai orang yang terlibat hampir gak bisa menelan
ludah, kerongkongan serak dan ditambah masalah degup-degup jantung, ya artinya
aku sempat getir dan khawatir sebab penulisnya adalah aku sendiri, orang yang
berdiri di samping Ipung. Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan, aku yakin Ipung
pasti akan bertanya pada Ipung BPBA E sebagai orang yang terlewat dalam moment
ini.
“Jun, kamu kenal gak dengan tulisan ini?”
“coba aku lihat” dari ekspresi wajah merem, Jun
sepertinya agak tahu. “hem, aku gak tahu pung” ujar Jun kepada Ipung. Hatiku
legah sekali ketika mendengar jawaban Jun. Dia menjawab dengan penuh kejujuran
walau pertamanya agak mengkhawatirkan.
Kulit tiba-tiba mengencang, bulu kuduk berdiri tegak,
badan subur keringat. Aku getir sekali. “ri, kalau kamu gimana, apakah kamu
tahu ini model tulisan siapa?” tiba giliraku, Ipung bertanya tentang masalah
yang sama.
Melihat, menatap lama tulisan itu sambil mengernyitkan
dahi aku jawab tahu atau kenal model tulisan itu. “ya sepertinya aku pernah
melihat model tulisan ini pung, tapi bukan anak Lubangsa Raya, tapi anak
Lubangsa Selatan.
“oh gitu, tapi gak mungkin kalau yang nulis surat ini
orang Lubagsa Selatan” Ipung membuang-buang saja jawaban dariku itu.
Kemarahan dari temanku yang satu ini sama denganku, disebakan
kidung-kidung cinta moyek kepada Zen.
Seperti yang aku lihat dia sering bersamanya. Tapi sejak itu aku sadar bahwa
bukan hanya cinta lawan jenis yang sering menimbulkan keributan tapi cinta
sesama jenis juga akhirnya harus menelan keributan juga. Seperti eksperisi
temanku ketika dia menunjukkan surat yang ditulis dengan tanpa nama. Andai aku
jujur kepadanya, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Pertengkarankah, pembunuhankah, atau putus pertemanan. Tapi intinya sama, cinta
tanpa anugerah adalah the destroyer of
life.
0 Comentarios