Tuhan Tahu, Tapi Menunggu




/1/
Kembali teringat pada resah lesuh dengan cucuran keringat, terkadang juga sampai jatuhnya air mata sebab dari apa yang kita inginkan terlalu lelap matanya tuk menghisap rinduku akan sebuah harapan. Hidup di pesantren butuh kesabaran dan keikhlasan,
Pertama alasan saya kenapa sejak itu lebih memilih Annuqayah dari di antara beberapa pesantren yang selalu menjadi gosip dan isu media di telinga-telinga manusia, seperti PP. al- Amien Prenduan, PP. Paiton Probolinggo dan PP. Ainul Yaqin, karena sejak itu saya masih duduk di kelas 3 MTS Miftahul Ulum dan seharusnya saya harus menemukan tujuan kemana saya akan pergi.
Lalu saya dapat isu media teliga dari sepupu saya di rumah yang mondok di pesantren Annuqayah, lalu tanpa basa-basi dan pula tanpa kemaluan sedikitpun saya dekap orang itu dengan keadaanku yang penuh penasaran tentang pesantren itu. Katanya, telingaku menangkap; bahwa pesantren itu sudah banyak mencetak orang-orang abangan menjadi sukses. Wah seperti itukah pesantren sepupuku?
Hari demi hari isu kemarin yang baru saya dapat semakin melumas diri lebih dalam. Mata berkunang cahaya dhamar talpe’, aku jadi ngidam tempat itu. Lalu sangu sekolah yang diberikan ibu setiap hari saya tabung, biasanya uang saku saya 1000-2000. Yang paling menarik banyak teman-teman yang mengira saya tidak pernah dapat uang saku. Pula saya tidak ke warung kecuali diajak teman. selama tiga tahun mulu saya kaku, seperti bayi berumuran 2 bulan yang tidak boleh dikasik permen. Ketika dikasik permen oleh teman lalu saya makan maka permen itu akan seperti pemain bola yang tidak mendapatkan lubang.
Tibalah saatnya saya hijrah dari tanah gersang ke tenah yang lebih gersang lagi yaitu Annuqayah. Di sanalah tempat saya berpijak, pergi dengan beberapa mimpi di hati. Rasa percaya diri di mata. Tapi juga rasa takut di jiwa terus-terusan menjangkiti.
Sekali-kali saya ingin menjadi master inggris, sesekali juga saya ingin jadi penulis terkenal yang mampu menorehkan kebahagian yang hanya bukan untuk tangkai kehidupan tapi seluruh daun dan kembang tercicipi. Saya ingin jadi seperti Taufiqurrahman, A’yat Khalili, kak Paisun bahkan terkadang saya ingin jadi teman saya yang lebih sukses/cerdas dari pada saya.
/2/
Malam Tangisan
Siapa yang tidak kerasan bagi orang-orang yang baru berpijak di sebuah tempat baru, semuanya pasti tidak kerasan walau sekali akan sempurna dalam waktu 1-2 minggu. Tapi berbeda dengan saya. Pertama kali saya pasrah mencintai tanah itu, saya lebih tidak kerasan dari yang lain, tapi saya selalu berusaha mencintainya sepenuh hati. Karena cinta ini sudah pilihan dan juga ibu beserta keluarga yang lain telah merestui. Maka sumpah mati kalau saya menarik rasa ini dari bumi akar hanya lantaran persoalan yang tak akan membuatku mati kelaparan(santai, ibu di rumah beserta ayah akan selalu iba pada anaknya yang sudah sampai pelaminan di rumah orang).
Sampailah pada malam HISABAN (ujian). Malam itu dingin. Langit begitu indah bercakrawala surga dengan tarian bidadarinya. Saya menatapnya seraya berkata aku pasti bisa sampai di surga pasti bisa, sampai mata terbawa lelap ke jam shalat Tahajjud di rembulan terang. Lalu saya tersinari olehnya, lalu perut saya tiba-tiba jatuh sakit, saya pergi mencari tempat buangan. Saya mengitari sepanjang jalan dari Timur sampai Barat tapi semuanya penuh. Lalu dari Selatan sapai Utara juga tidak bisa dipakai lantaran subuh masih dalam perjalanan waktu.
Tut..tut...tut... bunyi perut saya seperti kelakson truk. Sejak itu saya sudah tidak kuat menahannya sampai pada akhirnya kancut berukuran L basah semua baunya menyerbak centilan, terasa sangat menyengat. Allah..... di perhelatan Subuh saya menuju WC di sanalah saya gagal menjaga tumpahnya air mata. Mata pecah. Airpun tumpah disertai isak deru menderu dan ingatan pada ibu di rumah. Andai saya berada di rumah pasti saya tidak kerepotan begini. Kesabaran adalah kunci kesuksesan hidup seseorang. Tuhan bukannya tidak mendengar kita, hanya saja menunggu waktu tepat untuk kita.
/3/
Kagum yang Mematikan
Dunia literasi di pesantren bisa dibilang lebih baik dari pada yang lain. Tumbuh berkembang semangat santri dimulai dari perpisahan dengan keluarga ditambah lagi persaingan ideologi yang cukup ketat. Untuk menjadi yang nomer satu maka tak heran bila santi tak menemukan buku bisa sampai melanggar pergi ke kota mencari bahan bacaan. Mengaharukan bukan..! beda dengan yang lain, perjuangan di pesatren di samping perjuangan untuk sukses juga perjuangan agar pelanggarannya tidak diketahui pengurus. Hihihii
Utamanya sekolah saya MA THAFIDH ANNUQAYAH begitu sesaknya saya bisa dikenal jadi penulis. Seperti tak mungkin saja, menjadinya barangkali harus menyalip satu persatu penulis dari yang paling bawah sapai yang paling keren. Katanya sekolah saya adalah “gudangnya perestasi” benarkah demikian?
Reputasi nama tertinggi itu memang tak gosong, tak kolot dan bukan “kata-katanya” kata yang pada akhirnya takgena. Hari itu matahari bersinar panas kelembutan seperti bulu domba sehabis dijemur di sawah. Meng hangatkan jiwa serta melembutkan hati. Taufiqurrahman datang dari Jakarta dengan torehan prestasi terbesar yaitu juara 1 lomba ESAY Nasional yang diselenggrakan kemendikbud. Disambut meriah, son-son dendanganya merdu sekali, hayatannya mengisakkan tangisan kekaguman. Para guru turun dari gurun sahara setelah sibuk menumpuk pasir di atas kertas berwarni-warni.
Tentu siapa saja yang melihat moment itu akan mengeluarkan airmata thank you dari MAT yang selalu dihina lantaran dari ketakrapiannya. Lalu pada saat itu saya sengaja menembus dunia kedua untuk mengukir model karya yang mirip. Memang mimpiku ini muasal dari kelaman rasa kagum di hati. Tapi apalah daya bila yang lain tak mampu mengkelamkan rasa yang seperti ini. Tak mengapa yang penting itu bisa membangkitkan semangat dan bisa menorehkan hal-hal yang terbaik.
Sutas tali para pejuang kertas dan tinta di Anuqayah saya jelalajahi keindahan tanahnya. Mencari sesuatu yang terahasiakan yang telah membuatnya menjadi seperti yang sekarang. Sejak itu datang sebuah kabar pada saya tentang keindahan tanah seorang pejuang bahwa selama mondok dia berguru pada seorang santri senior dari Lubangsa Selatan, kemampuannya dalam menari dengan tinta sudah tidak diragukan, sangat indah dan akan nampak suasana yang begitu menawan saat dilihat. Tapi belajar menari padanya katanya akan banyak datang ujian. Sesekali pernah menyobek sia-sia hasil sebuah karya, kadang pula tak dibaca.
Pada suatu hari saya pergi ke suatu tempat yang tak pasti untuk mencari nafas pejuang tinta itu. Di jalan tiba-tiba saya dicegat oleh sebuah tulisan yang terje-jer rapi di sebuah kayu, bentuknya panjang dan tampak, membuat segala sesuatu merasa halus bila tertempel. Saya membacanya dan saya mendapat sebuah apa yang hari itu saya cari. Namanya kak Paisun, dengan mata melotot, dahi mengernyit ke barisan dari di antara barisan yang lain “oh ini namanya, guru yang telah mengajari santri Annuqayah yang mampu menorehkan prestasi besar”. Saya kunjungi orang itu dan akhirnya saya belajar kepadanya. Jadi guru yang mengajari saya menulis dengan semangat ialah kak Paisun Mohammad. Jasa-jasanya yang sudah mengembun di atas merangkai kata-kata manusia dengan puji-pujian. Keren kan orang ini?
/4/
Tuhan Masih Menunggu
Ke kak Paisun saya belajar tulisan non fiksi; seperti artikel opini dan esai. Belajar kepadanya perlu segunung hati nabi, tak semuanya betah bahkan saya pernah kejatuhan air mata lantaran kritikan tak memanusiakan. Walaupun begitu keadaan guru saya, tapi saya tetap berlatih menulis dan menyetor tulisan padanya seminggu sekali terkadang sampai dua kali. Tapi jujur selama berlatih saya tidak pernah nyetor sampai 3 kali dalam seminggu, tahu alasannya? Karena kritikannya sering mengganggu perasaan. Hehehe
Karena saya sudah punya dasar dan teknik penulisan, setiap ada penerbitan majalah baru pasti saya usahakan untuk mengirim, tapi sayang selama mondok tulisan saya tidak pernah dimuat sama sekali. Apa karena tulisan itu memang tak layat muat, tapi saya sudah berguru. Sedangkan dari teman-teman saya yang tidak berguru mengenai tulisan tulisannya dimuat. Ini persoalan besar kala itu.
Selama saya belajar menulis kira-kira sudah 2 tahun lebih tulisan yang tidak pernah dimuat membuat guru saya marah dan heran, sehingga letupan suara akhirnya keluar, seperti rombongan kelelawar menembus obor di malam hari, menabrak muka yang sejak tadi mengaharapkan semoga baik-baik saja. “ah kesalnya, kenapa jadi begini”.
Walaupun saya sudah bersabar menunggu takdir agar tulisan saya terbit di suatu majalah, tapi sampai saya berhenti mondok ternyata memang mungkin tulisan saya sangat jelek, guru yang selama ini saya kagumi tidak bisa dijadikan ukuran dari kemampuan saya. Terus apa yang saya dapat dari pelajaran itu?
/5/
Suarabaya dan Perempuan Tuhan
Akhirnya setelah lulus dari pesantren saya melanjutkan pendidikan ke kota Surabaya. Tetap seperti biasanya dengan penuh yakin saya bisa mengandalkan kemampuan yang tidak bisa diandalkan selama di pesantren. Menulis saya jadikan kunci utama dalam kecipak dengan mahasiswa lainnya.
Selain menulis saya juga ikut beberapa organisasi di kampus, melatih mental kepemimpinan agar suatu saat nanti kalau tiba-tiba saya jadi pemimpin gak keregetan lagi. Dan alhamdulillah ternyata saat itu saya terpilih jadi ketua angkatan UKM UKPI 2015. Walau sebenarnya sedikit canggung dan kakau lantaran sebelumnya saya kurang begitu aktif oragnisasi di pesantren.
Dalam sebuah diklat organsasi saya dipertemukan dengan seorang perempuan yang entah siapa namanya, dari mana asalnya dan anak siapa. Hanya dari kejauhan mata sipit menukik alam raya seraya menjadi terang, dari parasnya yang cantik turun hujan membasahi baju serba kuninya mengaliri semua badannya “oh tampak begitu anggun gadis itu, seperti bidadari kayangan”. Tidak sampai 5 jam hati saya kecantol padanya, membuat saya seperti Majnun kepada Laila.
Langkah kaki berkecipuk dentuman sastra memujinya sebagai perempuan berparas paling indah di dunia. Di kosan saya selalu menulis wajahnya dan keindahan rasa saya kepadanya. Sehingga kemudian saya merasa ada sebuah cinta tumbuh menangkai cerita yang sampai sekarang belum purna; artinya sampai sekarang, sekitaran 1 tahun lebih saya belum bisa melupakannya.
Di sepanjang jalan saya bersama teman-teman menceritakan gadis anggun itu. Setiap hari saya selalu menulis catatan harian tentang isi saya. sehingga waktu itu saya merasa kalau saya seperti penyair jadi-jadian. hehehe
Perhelatan waktu saya selalu menulis catatan harian ternyata tanpa saya sadari menuntun saya bisa menulis cerita-cerita pendek tapi saya tidak pernah menunjukkan ke orang lain. Hingga pada suatu saat teman saya di facebook mempsting lomba menulis cerpen nasional oleh PCINU Maroko. Lalu saya mencobanya untuk ikut, menulis sambil berkaca-kaca “bisakah saya menulis cerita?”.
Sekitaran 2 minggu tidak ada kabar siapa juara dan 20 nominaor terbaik. Di suatu malam tanpa ada niatan bahkan kesadaran untuk menunggu pengumuman lomba saya bersama teman pondok yang baru sekosan bercerita sambil nonton film. Tiba-tiba hp saya berdering ada pesan email masuk. Setelah saya buka pesannya bertulisankan begini
Assalamu’alaikum wr wb.
Beserta email kami kirimkan piagam penghargaan kepada Sdr. M. HARIRI sebagai 20 nominator terbaik Sayembara Cerpen Nasioanl dengan tema “Sepanjang Cerita di Lorong Pesantren” yang diadakan oleh PCINU Maroko dalam rangka memperingati konferensi Nahdatul Ulama Cabang Istimewa Maroko yang ke-3
Kami ucapkan terimakasih atas kontibusinya
Wassalamu’alaikum wr wb.
     Ttd;
(panitia penyelenggara lomba menulis cerpen; santri menulis)

Dengan mauk email ini saya jadi tidak merasa rugi belajar yang tiada hasil selama di pondok. Tapi terkadang ada hasil di mana saat waktu itu menepatkan kita menerimanya. Yakinlah Tuhan bukan tidak mendengar doa kita, hanya saja kalau kita masih belum sukses Ia masih menunggu waktu yang tepat untuk kita. Berusahalah dan juga berdo’a bahwa Tuhan akan memeluk kita sepanjang masa selagi kita masih ingat padanya.

0 Comentarios

Follow Me On Instagram