Dalam buku kumpulan cerpen pilihan Kompas tahun 2012,
penulis epilog, Maman M Mahayana, menulis bahwa sejak Kompas membatasi panjang
tulisan cerpen 4-5 halaman atau 2000 kata, menuai banyak kritik dari kalangan
para sastrawan dan penikmat cerpen. Karena pembatasan itu identik dengan
membatasi ruang gerak kreativitas penulis dalam mengeksplorasi kehidupan.
Sejak peraturan itu ditetapkan, karya sastra seperti
cerpen menjadi cerita padat. Perubahan seperti tersebut kemudian membuka
problem-problem baru. Problem pertama, dari pembaca. Pembaca akan
semakin kesulitan dalam memahami karya sastra yang ditulis dengan keterbatasan
eksplorasi. Makna yang terkandung akan sulit dimunculkan.
Kedua, memadatkan ruang ekspresi sastra yang sarat
dengan nilai-nilai kehidupan akan berakibat terbukanya multi tafsir dari
kalangan pembaca. Karena penulis dipaksa mengatur jalannya cerita sekaligus
makna yang akan disampaikan dalam tulisannya pada ruang yang terbatas.
Dari sini ada dua kemungkinan besar yang akan terjadi.
Jika penulis pandai mengatur dan menempatkan makna-makna yang dimaksud dalam
ceritanya serta bahasa yang digunakan sangat baik, kemungkinan besar akan
membuka ruang tafsir yang bernilai dari pembaca. Namun jika sebaliknya,
kemungkinan besar ada kesalahan tafsir, dan kesalahan tafsir terhadap karya
sastra bisa memungkinkan lahirnya problem dan perilaku sosial. Hal ini dapat
kita contohkan pada puisi Sukmawati yang dianggap menista agama.
Menanggapi karya cerpen di portal Qureta.com yang ditulis
oleh Fajar Nurrahman dengan judul Filsafat Rengginang adalah salah satu
faktor yang tidak beda jauh dengan apa yang ditulis Maman S Mahayana dalam
epilognya di buku kumpulan cerpen Kompas 2012. Pertama saya akan mengurai
tentang Qureta.com. Qureta.com menerima berbagai jenis tulisan salah satunya
adalah cerpen.
Bagi penulis yang ingin menulis di Qureta.com, maka
penulis harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Mengenai segi panjang
tulisan, Qureta membatasinya dari 700-1000 kata. Kata-kata yang dipakai harus
padat, lugas dan dalam paragraf tidak boleh panjang-panjang karena, menurut
pihak Qureta.com, akan menyulitkan pembaca dalam memahami. Oleh karena itu, dari
aturan-aturan yang telah ditetapkan itu, hingga kini, setiap membaca tulisan di
Qureta.com kita mengenalnya sebagai kumpulan karya-karya tulisan yang ditulis
dengan bahasa yang padat dan lugas.
Tapi hal ini tidak begitu tepat untuk karya cerpen.
Cerpen adalah salah satu karya sastra yang mengeksplorasi nilai-nilai kehidupan
dengan balutan fiksi. Fiksionalitas sangat penting dalam sastra. Sebab, dengan
itu, ambiguitas dihadirkan, penafsiran dimungkinkan. Ruang kosong dalam dunia
sastra adalah bagian yang membuka kran tafsir pembaca. Semakin berkualitas
penafsiran pembaca, semakin bermutu pula hasil tafsirannya untuk orang lain.
Tapi penafsiran tidak lepas dari karya. Penafsiran akan
menguak makna terdalam suatu karya sastra, sejauh karya itu membuka dirinya
terhadap pembaca. Menurut Heidegger, ada memahami sesuatu sebagaimana
sesuatu itu mengada. Our Being comes to us in what we do, jadi saat
memahami suatu tulisan yang belum sempurna, maka kita, sebagai manusia yang
mengada, akan memahami bagaimana (teks yang belum sempurna) kita berada
di depan teks itu.
Cerpen itu ditulis dengan usaha maksimal supaya pesan
yang disampaikan dapat dicerna oleh pembaca. Tapi tetap saja, keterbukaan makna
itu, walaupun diatur dalam kalimat yang baik, masih terhalangi. Misalnya pada
paragraf ke 5, tapi, setelah membaca pemikiran Mahatma Gandhi ia tidak
pernah lagi membuat barang-barang itu lagi (membuat logam, pedang dan
tameng). Seharusnya penulis memberi sedikit keterangan apa dan mengapa pesan
dari Mahatma Gandi. Hal ini lagi-lagi karena tuntutan panjang tulisan yang
terbatas.
Selain persoalan kalimat yang belum tuntas, aturan
panjang tulisan yang terbatas juga mengganggu teknik konflik dan plot cerita
(dalam cerpen Filsafat Rengginang). Sehingga aturan panjang tulisan yang
sangat terbatas pada karya sastra, seperti cerpen, yang penuh dengan fiksi
mereduksi makna yang tertulis.
Sementara tulisan kedua yang harus saya tanggapi, adalah
tulisan Muhammad Iqbal yang berjudul Sejarah Singkat Makanan Muslim. Tulisan
tersebut memberi pandangan baru tentang sejarah Islam. Kita akan segera mengakui
bahwa sebelum membaca tulisan itu, pikiran kita telah dipenuhi Islam yang menguasai
hampir seluruh dunia, penyebaran Islam lewat perdagangan dan perkawinan, serta
konflik antara Islam dan non Islam karena ketidakakuran.
Tulisan ini secara tidak langsung menegaskan pada kita,
bahwa peradaban Islam tidak sesempit itu. Penulis melihat sejarah makan Muslim
sebagai salah satu awal mula dari terbentuknya peradaban baru. Bahkan hubungan
Islam dengan seluruh dunia dan berbagai konflik ditandai dengan makanan.
Hal itu bisa dilihat saat pejabat kekhalifahan Abbasiyah
(750-1258 M) mengadakan perjamuan makanan mewah secara rutin dengan masyarakat
Muslim. Jadi hubungan antara sesama
muslim tidak hanya selalu berkutat pada ranah agama saja, tapi diwarnai dengan
makanan yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Meningkatnya peradaban makanan dalam Islam ternyata menarik
banyak orang dari seluruh dunia. Sehingga perdagangan terus melintang
menyeberangi laut, gunung dan gurun pasir. Dalam aktivitas perdagangan juga
terbuka kemungkinan Islam tersebar ke seluruh dunia lewat meningkatnya minat
orang-orang terhadap makanan Islam.
Namun pada akhirnya semua menjadi sia-sia Seharusnya saya
tidak mengomentari kedua tulisan itu. Tulisan pertama, saya mengatakan karena
dikekang dengan aturan, saya juga menulis karena berawal dari tuntutan untuk
memperoleh nilai. Sedangkan tanggapan untuk tulisan kedua, saya sudah merasa
dibodohi melihat Islam dengan pikiran sempit. Tulisan ini bukan tulisan dari yang
benar-benar saya, tapi ini tulisan saya yang dalam keadaan terpaksa.
0 Comentarios